REMBANG – Siapa Mbah Maimun Zubair? Beliau adalah ulama kharismatik asal Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, yang disegani banyak orang, baik dari kalangan santri, pejabat, bahkan tidak sedikit ulama yang hormat kepadanya.
Mbah Moen juga dikenal sebagai kiai sepuh, karena usia dan ilmunya di bidang keagamaan yang cukup matang, sehingga selalu dinantikan pencerahanya oleh banyak orang. Tidak jarang masyarakat di daerahnya mengumpulkan pesan-pesan beliau sebagai motivasi pribadi ataupun sesama.
Apa lagi jika sedang terjadi masalah besar yang terkait dengan persoalan negara yang kita cintai ini, Mbah Maimun tidak pernah diam dan selalu memberikan sumbangan pemikiran yang jernih. Nasehat dan petuahnya selalu terasa menyejukkan dan mendinginkan suasana.
Mbah Maimun, sosok lelaki kelahiran 28 Oktober 1928 (91 tahun), tidak hanya dihormati dan disegani oleh kalangan santri dan masyarakat umum. Tetapi juga dihormati oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan birokrat nasional.
‘Di tataran ulama, Mbah Maimun sudah golongan wali,” kata mantan Sekda Rembang, H Hamzah Fatoni.
Dulu, ketika Mbah Maimun masih sehat, sempat berpesan kepada Hamzah Fatoni agar mau ngopeni daerah Rembang. Beliau sangat peduli terhadap daerahnya. Bahkan dialah yang selalu mendorong kepada pejabat setempat agar meningkatkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Rembang.
Meskipun begitu, tidak menjadikan beliau seseorang yang ingin memanfaatkan ketenaran dan kewibawaannya untuk meminta jabatan maupun materi duniawi.
Dari silsilah keluarga, Mbah Maimun merupakan putra pertama dari Kiai Zubair dan ibundanya putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib ini dikenal sebagai ulama yang alim dan teguh memegang pendirian. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan.
Memang, kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Maimun, semua itu tersinergi secara seimbang.
Mbah Maimun sejak kecil hingga dewasa hidup di lingkungan nelayan, tepatnya di pesisir Desa Karangmangu, Sarang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.
Menilik soal kedalaman ilmu keagamaannya, Mbah Maimun hingga batas usianya menjadi rujukan ulama Indonesia, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul fiqih. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.
Ayahanda beliau, Kiai Zubair, adalah murid Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.
Sekitar tahun 45, beliau memulai pendidikannya di Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang biasa dikenal sebagai Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Pada usia 21 tahun, beliau melanjutkan studinya ke Mekkah Al-Mukarromah. Perjalanannya ke Mekkah ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang kompeten di bidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, dan Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Mbah Maimun juga merupakan kawan dekat dengan Kiai Sahal Mahfudh asal Pati, yang sama-sama menjadi santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Beliau juga pernah menetap di Mekkah Al- Mukarromah selama dua tahun lebih. Sekembalinya dari tanah suci, beliau juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Leteh/Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.
Kemudian, pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya pondok pesantren yang berada di sisi kediaman beliau yang kini dikenal dengan nama Al-Anwar.
Pesantren ini pun kemudian kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif. Sekitar tahun 2008, beliau mengembangkan pesantrnnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan, Sarang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan kepada putranya KH. Ubab Maimun.
Mbah Maimoen Zubair mempunyai 2 istri, yang pertama yaitu Hj Fahimah putri KH. Baidhowi Lasem, dari sini beliau dikaruniai 7 anak, empat di antaranya meninggal pada waktu masih kecil. Sedangkan 3 yang lainnya yaitu : KH Abdullah Ubab, KH Muhammad Najih, Neng Shobihah.
Setelah istri pertama meninggal beliau menikah lagi, memperistri Nyai Masthi’ah Putri KH Idris asal Cepu, Blora. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 6 anak putra, dan 2 anak putri.
Mereka di antaranya adalah KH Majid Kamil, Gus Ghofur, Gus Ro’uf, Gus Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Neng Shobihah (meninggal), dan Neng Rodhiyah.
Semasa hidupnya, Kiai Maimun Zubair tidak hanya mengabdikan diri pada agama saja. Namun beliau adalah seorang yang sangat aktif di berbagai bidang sebagai pengabdian beliau kepada negara. Beliau pernah menjadi anggota KUD Sarang, anggota DPRD Rembang selama 7 tahun, dan menjadi anggota MPR RI yang mewakili daerah Jawa Tengah selama tiga periode.
Selain itu, beliau masih aktif sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Politik dalam diri Kiai Maimun bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan.
Sekarang, Mbah Maimun Zubair telah tiada dengan meninggalkan berbagai kenangan hidupnya. Kiai sepuh itu wafat di saat menjalankan ibadah haji di Makkah. Beliau sempat dirawat di Rumah Sakit An Noor Saudi Arabia. Namun, Selasa (06/08), pukul 04.17 waktu setempat, beliau wafat pada usia menginjak 91 tahun.(suarabaru.id)