blank
Ubo rampe sesaji dalam Larungan Lomban Jepara. (Foto : Sunarso)

Oleh : Hadi Priyanto

Konon tradisi larungan di Jepara telah ada saat Adipati Citrosomo VII berkuasa. Ia menjabat sebagai penguasa Jepara sejak tahun 1837 hingga 1857. Larungan  sesaji ini konon bermula dari kisah dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa pada tahun 1855.

Mereka naik perahu dari Teluk Jepara. Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar yang membuat  perahu mereka terombang-ambing dan nyaris tenggelam. Beruntung Ki Ronggo Mulyo dan Encik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dari para nelayan. Keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat tersebut berhasil diselamatkan dari amukan badai.

blank
Ubo rambe sesaji dalam pesta lomban di Jepara (Foto : Sunarso)

Dari peristiwa itu, kemudian pejabat kadipaten yang hampir tenggelam dan kedua tokoh dari Teluk Jepara dan Pulau Bokor yaitu Ki Ronggo  dan Encik Lanang, mulai  membuat sesaji yang dilarung kelaut dari Teluk Jepara yang sekarang bagian dari kelurahan Ujungbatu.  Ini sebagai ucapan syukur mereka. Tentu atas ijin Adipati Citrosomo VII.

Adipati Citrosomo VII kemudian pada tanggal 18 Desember 1857 digantikan oleh Adipati Citro Wikromo. Bupati Citro Wikromo  yang berkuasa hingga tahun 1881  kemudian meneruskan dan bahkan mengembangkan tradisi larungan yang diadakan pada  hari kedelapan Syawalan. Konon hingga tahun 1868  tradisi lomban  dalam catatan  pemerintah Hindia Belanda baru diadakan di Jepara.

Larungan sesaji ini kemudian berubah makna. Tujuannya kemudian dikembangkan bukan saja  sebagai ucapan syukur, tetapi  agar Hyang Maha Kuasa melindungi para nelayan dari segala malapetaka di laut  dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah  setiap tahunnya. Juga masyarakat Jepara terhindar dari berbagai malapetaka. Salah satu perubahan adalah adanya kepala kerbau yang menjadi bagian dari sesaji. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1920 saat H. Sidiq menjabat sebagai Kepala Desa Ujungbatu

Selanjutnya,  mereka  memilih waktu larungan sesaji yaitu tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.  Tradisi ini   terpelihara sampai sekarang dan bahkan menjadi atraksi wisata yang paling menarik perhatian dan bahkan telah menjadi even budaya tradisi yang dicatat Unesco.

blank
Perahu yang aan dibuat untuk membawa sesaji pada lomban tahun 2022. (Foto: Sunarso)

Ubo Rampe Sesaji

Walaupun sejak pertama kali dilakukan hingga sekarang ada banyak sekali perubahan acara, namun ada yang tidak berubah yaitu larungan  kepala kerbau beserta ubo rampe sesaji. Ubo rampe sesaji dan juga maknanya inilah yang sampai saat ini masih menjadi misteri.

Sebab ubo rampe sesaji ini diwariskan secara turun temurun mulai Mbah Badi yang mendapatkan petunjuk langsung  dari Mbah Ronggo. Mbah Badi adalah juru kunci makam Mbah Ronggo. Tradisi jenis-jenis  sesaji ini kemudian diwariskan kepada anaknya, almarhum Zaenal Arifin mantan Lurah Ujungbatu.

Setelah  itu  kemudian diwariskan dan dilanjutkan anaknya yang bernama  Iskarimah bersama suaminya  H. Suwarno hingga sekarang. Zaenal Arifin meningal pada tahun 2015. Keluarga inilah yang menyiapkan obo rampe sesaji sampai saat ini. Sedangkan perahu yang terbuat dari batang pisang tahun ini dibuat oleh Agus Mrdeko.

Jumlah ubo rampai sesaji ini 25 jenis yang terdiri dari kepala kerbau yang diikat dengan kain putih, ayam dekem,ayam bakar dan pisang raja sepasang.Juga ada kupat lepet, bubur merah putih, sego damar murup, sego janganan, sego nuk nuk-an 5 buah, arang arang kambang, cengkaruk gimbal, cengkaruk uro serta  parem laut.

Jenis sesaji lain adalah  sawanan,sambel gepeng, sayur bening daun kelor, iwak gereh, paso kekep  yang berisi beras, gula, kopi, teh, jahe, kembang boreh, kembang telon, cowek dupo dan tikar pandan sebagai alas semua ubo rampe sesaji.

Sehari sebelum acara pelarungan sesaji diadakan, dilakukan  ziarah  ke makam Ki Ronggo Mulyo di Ujungbatu dan makam Encik Lanang di Kelurahan Bulu Jepara. Juga ada pagelaran wayang kulit di di Tempat Pelelangan Ikan Ujungbatu. Pagi harinya dilakukan doa dan pelarungan sesaji kepala kerbau dengan diiringi Gending Kebo Giro.

Pelarungan dilakukan Bupati Jepara disekitar pulau Bokor, sebelah utara pulau Panjang disaksikan ribuan warga yang mengiringi prosesi ini dengan naik perahu.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan wartawan SUARABARU.ID.