Oleh : Hadi Priyanto
JEPARA( SUARABARU.ID)– Dalam pesta Lomban di Jepara, ada tradisi budaya yang terus diperbarui secara dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Bermula dari sini kemudian muncul ide, untuk menggunakan kupat lepet sebagai simbul dari pengakuan atas kesalahan, kekurangan dan kilaf, baik dalam dimensi hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama. Kerendahan hati dan pengakuan atas ketidak sempurnaan ini senantiasa mewarnai suasana idul fitri.
Gagasan itu muncul pada tahun 2006 dari Bupati Jepara kala itu, Drs Hendro Martojo, MM yang disampaikan pada para seniman dan pegiatan budaya yang tergabung dalam Dewan Kesenian Daerah. Ia ingin para seniman melahirkan karya untuk membuat atraksi yang baru dalam prosesi lomban.
Keinginan itu disambut antusias oleh para seniman kala itu. Ada Aminan Basyarie, Ngateman Bagus, dan Nur Huda Tauchid, yang kemudian mencoba menterjemahkan keinginan Drs Hendro Martojo, MM dalam sebuah konsep karya.
Juga ada banyak yang kemudian terlibat dalam kerja kebudayaan itu. Mulai Sholikul Huda dari Sanggar Kalinyamat yang dipercaya menjadi sutradara, Asyari Muhammad, Tohar Rambo, Angkas, Wulan, Anggun, Fitri, Sintya, Bowo, Ali, Cinung, Bagong Wong Ngemplak, , Sudi Haryanto, Aqidah Apsari Nugrahani, Rahmat Budiharjo dan Group Band Dhuafa dan Eswal Waluyo. Juga ada nama Bayu Supriyanto yang mempersiapkan property gunungan.
Dibalik layar ada juga pengurus DKD tahun 2004 – 2007, Hadi Priyanto, Udik Agus DW, Mustaqim Umar, Sunardi KS, Inayah, dan Ali Emje. Juga ada Windar Ary Nugroho Ketua DFKD Tahun 2000-2004. Festival ini kemudian diberi nama oleh Drs Hendro Martojo, MM dengan nama Festival Kupat Lepet yang pertama kali ditampilkan pada Lomban tahun 2006.
Festival Kupat Lepet tampil dalam bentuk satu gunungan kupat dan lepet yang dikolaborasikan dengan seni tari tari dan baca puisi oleh Sholikul Huda, Aminan Basyarie dan Akhidah Hapsari. Kendati demikian sebagai sajian baru pada prosesi akhir larungan, festival kupat lepet ini sempat mencuri perhatian pengunjung.
Keberhasilan pada Lomban tahun 2006 ini menjadi pemantik diskusi panjang para seniman yang tergabung dalam wadah DKD Jepara kala itu. Pada festival kupat lepet tahun 2007, tim kreatif yang mendukung bertambah seperti Oki Berdarah-darah, Zaenal Arief, Kustam Eka Jalu serta Ki Dalang Hadi Purwanto dengan grup campursarinya.
Akhirnya lahirlah sebuah konsep baru untuk menghadirkan kupat lepet dalam kemasan yang lebih estetis dan bermakna dengan menampilkan kupat lepet dalam bentuk dua buah gunungan. Gunungan dibuat oleh seniman Bayu Supriyanto. Sedangkan Sholikul Huda dari SKT dipercaya menjadi sutradara.
Pada Lomban tahun 2007 ditampilkan dua buah gunungan yang berisi 2007 buah kupat lepet, serta 7 tampah berisi kupat yang dibawa oleh para penari. Juga pembacaan puisi oleh Aminan Basyarie dan Akhidah Hapsari. Gunungan di pikul oleh para seniman muda setelah sebelumnya menyambut kedatangan para pejabat yang baru datang dari prosesi larungan.
Dalam konsep yang diperbaharui ini kupat lepet ini pada akhir acara diperebutkan oleh warga setelah sebelumnya Bupati Hendro Martojo mengambil dan menyerahkannya kepada Ketua DPRD Jepara waktu itu. Makna filosofinya, bupati meminta maaf kepada seluruh warga masyarakat Jepara
Pada perkembangannya kemudian gunungan dibuat dua buah yaitu gunungan kupat ditutup kain berwarna hitam dan gunungan lepet ditutup kain berwarna putih, simbul kesalahan / dosa dan pemberian maaf / kesucian hidup. Konsep yg dibuat oleh Kustam Ekajalu, bersama Aminan Basyari dan N.H. Tauchied.
Festival Kupat Lepet yang dimulai oleh Seniman Jepara ini atas inspirasi dari Drs Hendro Martojo, Bupati Jepara waktu itu kini menjadi tradisi baru dalam even lomban Jepara. Semoga seniman-seniman Jepara semakin dihargai karya-karya kreatifnya atau diberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kreatifitas untuk melahirkan sebuah karya.(*)
Penulis adalah Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Jepara tahun 2004 – 2007 dan pegiat budaya Jepara.