Oleh: Khanif Hidayatullah
JEPARA (SUARABARU.ID)- Kiai Soleh Darat merupakan ulama Nusantara yang dikenal sebagai syaikhul masyayikh (maha guru). Kiai Soleh Darat telah menjadi guru bagi tokoh-tokoh bangsa diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), hingga tokoh pergerakan nasional seperti RA Kartini serta kakaknya Raden Mas Panji Sosrokartono.
Kiai Soleh Darat (Al-‘Aalim Al-Allaamah Asy-Syaikh Al-Hajji Muhammad Sholih as-Samarani al-Jawi asy-Syafi’i) mempunyai nama asli Muhammad Soleh bin Umar. Beliau lahir pada sekitar tahun 1235 H/1820 M di wilayah barat daya Gunung Muria tepatnya di Dusun Kedung Jumbleng, Desa Ngroto, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Ayah dari Kiai Sholeh Darat adalah Kiai Umar bin Tasmin seorang ulama pemimpin agama dan pejuang anti-kolonialisme, komando Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa (1825-1830). Kiai Umar merupakan seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro di wilayah pesisir utara Jawa bersama dengan Kiai Sadad dan Kiai Murtadho. Ibu Kiai Sholeh Darat adalah Nyai Umar yang secara silsilah termasuk keturunan Sunan Kudus (Syekh Ja’far Shodiq). Nyai Umar binti Kiai Singapadon (Pangeran Khatib) ibn Pangeran Qodin ibn Pangeran Palembang ibn Sunan Kudus.
Sejak kecil Kiai Sholeh Darat berada pada lingkungkan keilmuan. Pendidikan daasr-dasar agama Islam Kiai Sholeh Darat didapat langsung dari ayahnya yaitu Kiai Umar. Setelah mendapat ilmu dasar Kiai Sholeh Darat melakukan pengembaraan intelektual berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Kiai Sholeh belajar fikih dengan KH. M. Syahid di Pesantren Waturoyo, Kajen, Pati. Belajar Tafsir Jalalain dengan KRH Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus. Bersama Kiai Ishak Semarang beliau belajar ilmu nahwu dan sorof. Belajar kepada mufti di Semarang Kiai Abdullah Muhammad bin Hadi Baquni ilmu falak. Bersama Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’alawi beliau mempelajari kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqoni dan Kitab Minhaj al-Abidin karya Imam Ghazali. Selanjutnya mempelajari Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri dengan Syekh Abdul Ghani Bima. Dan mempelajari tasawuf dan tafsir Alquran bersama Mbah Ahmad Alim.
Setelah mempelajari ilmu pada ulama-ulama di Pulau Jawa, Kiai Sholeh Darat melanjutkan mencari ilmu hingga tanah suci Makkah. Di tanah suci tersebut Kiai Sholeh Darat semasa dengan Syekh Nawawi al-Bantani dan Syaikhona Kholil Bangkalan. Kiai Sholeh Darat belajar agama Islam bersama para alim ulama diantaranya adalah Syekh Muhammad al Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafi’i), Syekh Ahmad al Nahrawi al Mishri, Sayyid Muhammad Shalih al Zawawi al Makki, Syekh Jamal (mufti mazhab Hanafi), Syekh Yusuf al Sunbulawi al-Mishri, dan Syekh ‘Umar asy-Syami.
Di tanah suci inilah Kiai Sholeh Darat menjadi seorang pembelajar dan setelah itu menjadi seorang pengajar yang keilmuannya diakui secara langsung oleh penguasa Makkah kala itu. Singkat cerita, atas inisiatif Kiai Hadi Girikusomo Demak, Kiai Sholeh Darat akhirnya kembali ke tanah air. Sepulangnya di Nusantara Kiai Sholeh Darat mengajarkan ilmunya kepada masyarakat luas.
Kiai Sholeh Darat melaksanakan aktifitasnya di daerah ‘Darat’ pesisir utara Jawa (sekarang Dadapsari kec. Semarang Utara). Daerah tersebut merupakan pendaratan (berlabuh) kapal-kapal pedagang yang melakukan perjalanan menggunakan transportasi lautan. Maka nama daerah tersebut disematkan dalam nama Kiai Sholeh. Kiai Sholeh Darat kemudian mendirikan tempat ibadah, pesantren, dan melaksanakan berbagai kegiatan pembelajaran keilmuan. Para santri Kiai Sholeh Darat hadir dari berbagai penjuru daerah.
Kiai Sholeh Darat merupakan seorang ulama Nusantara yang produktif dalam melahirkan berbagai karya. Karya dari Kiai Sholeh Darat diantaranya adalah Mukhtasar Al-Hikam ibn ‘Athaillah as-Sakandari, Majmu’at Syari’at al Kafiyat Li al-Awam, Munjiyat Metik Saking Ihya ’Ulumuddin Imam al-Ghazali, Syarah Barzanji, Laaifu al-Taharah wa Asrari as-Salah, Tuwin Nazhatu al-Majalis, Hidayatu al-Rahman, Fasholatan, Hadis al-Ghaiti, Minhaju al-Atqiya’ fi Syarah Hidayat al-Azkiya’ ila Tariq al-‘Auliya, al-Mahabbah wa al Mawaddah fi Tarjamati Qoul al-Burdati fi al-Mahabbah wa al-Madi ‘ala Sayyidi al-Mursalin, Manasik Haji wa al-Umrah wa Adabu al-Arifin, al-Mursyidu al-Wajiz, dan Faidu al-Rahman yang merupakan kitab tafsir Alquran berbahasa Jawa (arab pegon) pertama di Nusantara. Kitab tersebut menafsirkan Alquran dari Surat Al-fatihah hingga Surat Ibrahim.
Penafsiran Alquran sesuai dengan bahasa Jawa (arab pegon) ditengah politik penjajahan merupakan strategi yang luar biasa dalam syiar agama. Kiai Sholeh Darat menjawab kegelisahan dari RA Kartini yang membaca zaman dengan kritis pada masa pemerintahan kolonial tersebut. Pengajian Tafsir Al-fatihah Kiai Sholeh Darat yang dihadiri oleh RA Kartini di rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak) mengubah wawasan Islam RA Kartni. Kekaguman dan Ketakjuban atas makna Al-fatihah membuat RA Kartini kemudian menyampaikan permohonan kepada Kiai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Alquran menggunakan bahasa Jawa.
Santri-santri dari Kiai Sholeh Darat diantaranya adalah Syaikh Mahfudz at-Tirmisi, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Amir Pekalongan, Kiai Idris Solo, Kiai Tahir Semarang, Kiai Dimyathi, Kiai Kholil Rembang, Kiai Munawwir Yogyakarta, Kiai Dalhar Watucongol Magelang, Kiai Tafsir Anom penghulu Keraton Surakarta dan para ulama lainnya.
Kiai Sholeh Darat adalah seorang ulama besar Nusantara yang perjuangan dan pengabdian beliau telah sumbangsihkan kepada bangsa. Keilmuan Kiai Sholeh Darat, yang hampir mempelajari semua disiplin ilmu agama dan sikap cinta tanah air beliau menjadi semangat yang senantiasa menginspirasi dan diteladani bagi generasi-generasi putra dan putri bangsa selanjutnya.
(Khanif Hidayatullah, anggota Forum Pelestari Sejarah dan Budaya Jepara, tinggal di Jepara)