JEPARA (SUARABARU.ID) – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jepara periode 2021 – 2026 akan segera dilantik. Direncanakan pelantikan akan dilakukan di gedung wanita RA Kartini Jepara, 5 Maret 2022.
Salah satunya adalah KH. Charis Rohman yang terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah dalam Konfercab ke-32 PCNU Kabupaten Jepara Senin (15/11-2021) di Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang.
Siapakah KH Charis Rohman, sosok sederhana dan ramah yang akan menjadi nahkoda bahtera besar Nahdlatul Ulama Jepara ini? Dia lahir tahun 1975 dari pasangan H. Sunardi dan Hj. Sumiatin. Di dalam keluarga, ayahnya selalu menanamkan ajaran agama dan mengenalkan tokoh-tokoh agama.
Salah satu yang sangat dihormati adalah KH. Ibnu Sahil, pimpinan pondok pesantren Heru Cokro Sianggul, Mlonggo yang hanya berjarak 200 meter dari rumahnya. Karena itu ketika Charis Rohman baru kelas 4 SD, ia diantarkan oleh ayahnya untuk nyantri pada kiai yang dikenal sangat sederhana, baik dan hatinya yang lembut.
Walaupun rumahnya dekat, oleh ayah Charis Rohman diminta untuk mondok dan masak di pondok. Tujuannya agar dapat belajar sejak kecil dari kiai yang sangat dihormati, bukan saja oleh pasangan H. Sunardi dan Hj. Sumiatin tetapi juga oleh warga masyarakat.
Ketika naik kelas 5 SD, Charis diminta Kiai Sahil sekolah di Madrasah Tsanawiyah Heru Cokro yang dikelolanya. “Namun hanya satu minggu, kemudian saya dinaikan kelas 2. Karena itu lulus SD dan Madrasah Tsanawiyah tahunnya sama. Jadi tidak punya ijazah resmi” ujar Charis Rahman sambil tertawa
Ia kemudian masuk Madrasah Aliyah Annawawiyah. Saat itu usia Charis baru 13 tahun. Namun hanya satu tahun ia menjalani pendidikan di Madrasah Aliyah. Sebab oleh KH. Ibnu Sahil dan ayahandanya ia kemudian diantarkan ke pondok pesantren Raudhatul Ulum asuhan KH. Muhammad Dimyati Amin di Kampung Cidahu, Lebak, Desa Tanagara, Kecamatan Candisari, Pandeglang, Banten.
Belajar dari Kitab Kuning
Kiai karismatik yang juga akrab dipanggil Abuya Dimyati ini adalah putra pasangan KH. Amin dan Hj Ruqayyah. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren Salafiyah yang mengajarkan dan mengkaji ajaran-ajaran intelektual Islam abad pertengahan, atau ada yang menyebutnya orang-orang Salaf.
“Saya diajar mengaji sendiri oleh Abuya Dimyati dari kitab-kitab tua yang rumpun kajiannya sangat beragam. Ada fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf. Mestinya jika dilihat dari umur, belum saatnya saya mengaji kitab–kitab kuning yang berbahasa Arab tanpa harakat, sehingga dikenal juga dengan kitab gundul,” ujar Charis Rohman
Namun semua itu ia jalani dengan senang. “Sebab sejak kecil kiai saya anggap sebagai panutan dan guru saya. Dua tahun saya mengaji pada KH. Muhammad Dimyati Amin,” kenang Charis Rohman.
Pada akhir tahun 1990, Charis Rohman kemudian pindah ke Ploso Kediri, atas saran KH. Ibnu Sahil. Namun boyongan harus ditunda beberapa saat. “Saya menunggu boyong karena menunggu final piala dunia yang digelar di Italia antara Jerman dan Argentina,” ujarnya terbahak.
Sebab saat itu ia sangat menyukai bola. “Final piala dunia itu akhirnya dimenangkan oleh Jerman hingga berhak mendapat gelar sebagai juara dunia untuk yang ketiga,” kenang Charis.
Di Ploso ia mengaji di Pondok Pesantren Al Falah yang juga dikenal sebagai pondok Pesantren Salafiyah. Charis Rohman diasuh langsung oleh KH. Fuad Mun’im, putra keempat pendiri pondok, KH. Ahmad Jazuli Usman.
Ada enam putra-putri KH. Ahmad Jazuli Usman yang meneruskan pengasuh pondok ini yaitu KH. Zainundin Jazuli, KH. Nurul Huda atau Gus Dah, Bu Nyai Hj Lailatus Badriyah, KH. Munif, KH. Hamim atau Gus Miek dan KH. Fuad Mun’im Jazuli yang akrab disapa Gus Fu’. Gus Fu’ dikenal sebagai pengampu kitab rujukan di Pondok Pesantren Al Falah.
Mendengarkan Nasehat Kiai
Menurut Charis oleh Gus Fu’ ia kemudian didawuhi untuk tinggal di rumah kiai. Tidak di asrama pesantren seperti santri yang lain. “Disela-sela belajar ilmu agama dari ulama salaf yang permikiran dan karyanya menjadi kiblat umat Islam, saya ikut kerja di sawah, kerja dapur, pelihara ayam dan bahkan jualan gorengan yang dititipkan diwarung-warung pondok. Juga menemani putra kiai dan melayani kiai saat menerima tamu yang membawa berbagai persoalan dan keinginannya,” ujar Charis Rohman.
Saya mendapatkan pelajaran yang sangat banyak dan berharga dari Gus Fu’ atau ada yang menyebutnya Yai Fu’ dengan mendengarkan nasehat dan sikap beliau saat menerima tamu-tamu yang datang silih berganti dari berbagai kalangan dan persoalan. Biasanya kami ndoprok di kaki kiai dan mendengarkan bagaimana beliau memberi nasehat. “Beliau adalah guru sekaligus panutan yang tidak pernah lelah mentasaruffkan ilmunya untuk santrinya,” kenang Charis Rohman
Selama 14 tahun Charis Rohman dibimbing dan diasuh oleh KH. Fuad Mun’im Jazuli. Bahkan ia kemudian menemukan jodohnya yang juga santriwati Pondok Pesantren Al Falah karena Gus Fu’. Namun ada cara unik yang digunakan KH. Fuad Mun’im Jazuli untuk mengenalkan Charis dengan calon istrinya.
“Suatu saat saya diajak naik mobil Yai. Beliau mengemudikan pelan sekali. Didepannya ada seorang gadis naik sepeda yang diikuti beberapa saat dan kemudian beliau menyatakan gadis bersepeda itu sehat sekali. Saya tentu saja hanya tersenyum. Peristiwa itu diulang kembali esok harinya,” kenang Charis Rohman yang mengaku saat itu tidak tau apa yang dimaksudkan kiai.
“Baru hari ketiga saya diberitahu dijodohkan dengan gadis bernama Naili Risalati, gadis bersepeda yang dua kali kami ikuti. Ia juga keponakan Yai Fu’. Tahun 1996 kami menikah saat saya berusia 21 tahun. Tidak punya apa-apa dan belum bekerja,” kenangnya.
“Tetapi karena dimintai kiai, saya hanya jawab nggeh. Saya yakin yang diperintahkan kiai baik untuk saya. Saya murni bentukan kiai dan menjalani hidup dengan mengalir seperti apa yang diperintahkan oleh kiai saya” ungkapnya.
Setelah menikah ia masih tinggal di rumah, membantu dan ngaji sama Yai Fu’ hingga 7 tahun kemudian. “Sedangkan istri tinggal di rumah orang tuanya, seorang lurah disana. Kadang tiga hari tidak ketemu istri,” kenang Charis.
Pulang kampung
Setelah mengaji di dua pesantren selama kurang lebih 16 tahun, Charis Rohman pulang ke desanya, Sinanggul Mlonggo. Ia diminta pulang oleh Yai Fu’ untuk menemani ibunya setelah ayahandanya wafat. “Mungkin kiai tahu juga hati saya mulai galau setelah 7 tahun menunggu ijin untuk kembali ke Jepara,” ujarnya.
Ia pulang bersama istri dan anak sulungnya dan kemudian bekerja di brak mebel adiknya selama 14 tahun disamping mengajar di madrasah Darusalam. Namun dalam perjalannya, ia kemudian membuka usaha sendiri sampai sekarang.
Dua tahun kemudian, Charis Rohman mendapatkan kepercayaan sebagai pengurus MWC NU Mlonggo. Walaupun baru berusia 33 tahun, ia mendapatkan kepercayaan sebagai wakil Rois Syuriah yang saat itu dijabat oleh Habib Muhammad Munttahar, salah satu ulama sepuh di Mlonggo. Charis mengaku banyak belajar dari Habib Muh.
“Saya sering dimintai untuk mewakili beliau dalam berbagai kesempatan. Saat mewakili beliau itu sering kali ada yang menggoda, benar nggak ini pengurus Syuriah, karena masih muda. ” ungkapnya sambil tertawa. Setelah Habib Muh meninggal saya kemudian mendapatkan kepercayaan menjadi Rois Syuriah MWC NU Mlonggo selama dua periode,” tambahnya.
Ia kemudian mendapatkan kepercayaan sebagai Ketua Ketua Tanfizdiyah dalam Konpercab ke-32 PCNU Kabupaten Jepara. Ia mengaku tidak pernah berfikir mendapatkan tugas ini. “Saya hanya jalani hidup ini mengalir saja seperti yang diajarkan oleh para kiai,” ujarnya.
Ia sadar, NU adalah bahtera besar yang sedang berlayar menuju tujuan yang tak bertepi. Sebab akan terus bergerak sesuai dengan dinamika jaman. “Oleh sebab itu dengan silaturahmi kita satukan anak buah kapal untuk menjawab bersama dinamika persoalan dan harapan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing,” tuturnya.
Karena itu setelah terpilih, selama 3 bulan terakhir bersama 39 pengurus PCNU berusaha untuk mengenali potensi, persoalan dan solusi. Kami berusaha merumuskan dalam bentuk program-program kerja 5 tahun kedepan yang sebagian besar akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga.
“Banyak perubahan karena dinamika umat. Kalau dulu NU lebih condong ke bidang Ubudiyah, kini dituntut juga untuk memberikan perhatian dan hadir dalam berbagai bidang kehidupan dan persoalan masyarakat secara nyata,” tegas Charis Rohman. Posisi pengurus Tanfidziyah sekarang adalah melayani para kiai, tambahnya.
Model kepempinan yang hendak dijalankan di kepengurusan Tanfidziyah disebut oleh Charis Rohman nyaris tidak ada ketua. “Semua kami tentukan berdasarkan musyawarah. Apalagi dikepengurusan ini sebagian besar adalah anak-anak muda. Tentu sudah memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing. Saya hanya menjaga semuanya berjalan dalam harmoni. Kuncinya silaturahmi dan menghindari perbedaan,” ungkapnya.
Warna Berbeda
Salah satu yang mendapatkan perhatian adalah tahun politik 2024, saat digelar pesta demokrasi, baik pada skala lokal, regional maupun nasional. Saat ditanya kemungkinan NU ditarik-tarik dalam kancah politik praktis, Charis Rohman secara terbuka mengaku ada banyak yang mencoba mendekati. Bahkan saat ini telah mulai. Sebab NU memang memiliki jumlah umat yang besar. “Diantara warna-warna yang berbeda, kami mengambil sikap yang sama,” tegas ayah 5 anak ini.
Ia mengungkapkan, NU adalah rumah besar dan bahtera besar umat. Ada aneka warna baju yang dikenakan umat, namun hatinya sama, NU. “Itu yang harus dijaga sebagai sebuah harmoni untuk umat dan bangsa ini,” tuturnya
Charis Rahman juga mengungkapkan pandangannya terhadap keberagaman. Ketika tidak bisa disamakan biarlah itu tetap berbeda. Karena itu di NU ada ada ukuwah basariah dan watoniah yang terus dijaga.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai ketua Tanfidziyah, peran keluarga menurut Charis sangat besar. Namun ia tidak membawa persoalan organisasi kerumah. Sebab istri sudah terlalu lelah merawat anak-anak dan mengatur rumah tangga. “Kami biasanya hanya gunakan waktu untuk bercanda dengan istri dan anak-anak,” terangnya.
Namun ia bersyukur, saat ia menyambut kehadiran anak ke enam dan cucu pertamanya dari pernikahan putri sulungnya dengan putra kiai petamanya, KH. Ibnu Sahil, Charis Rohman masih yakin, bahwa jalan yang dilalui kini adalah titian jalan yang telah dibukakan oleh para kiai yang membimbing. Tentu atas ridlo Allah.
Ayahandanya dan empat kiai yang mengantarkan hingga mendapatkan kepercayaan dan tugas besar sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara periode 2021 -2026 memang telah tiada. Namun bagi KH. Charis Rohman, ajaran-ajaran para kiai, masih terus dipegang sebagai sebuah amanat. Melayani kiai dan umat sebagai sebuah panggilan hati.
Hadepe – Ulil Abshor – Alvaros