SEMARANG (SUARABARU.ID) – Anak – anak yang tidak tersentuh kebijakan vaksinasi perlu dipersiapkan perlindungan yang baik. Hal ini dipandang penting guna menghadapi tantangan pendidikan anak yang harus berdampingan dengan pandemi Covid-19.
Per 1 Juli 2021, Pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan program vaksinasi Covid-19, di mana anak usia 12 hingga 17 tahun juga perlu mendapatkan vaksinasi sebagai ikhtiar perlindungan terhadap risiko penularan Covid-19.
Yang menjadi persoalan, ketersediaan vaksin belum sepenuhnya mampu menjangkau seluruh elemen masyarakat, tak terkecuali para pelajar maupun para tenaga pengajar (guru) di semua sekolah.
Di satu sisi, anak di bawah usia 12 tahun (di luar usia vaksinasi) juga memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan dari risiko penularan Covid-19 sekaligus untuk menyelamatkan pendidikan mereka.
Ketua Himpunan Pendidik dan tenaga Kependidikan Anak usia Dini (Himpaudi) Jateng, Dedy Andriyanto, saat webinar ‘Menyelamatkan Pendidikan Anak di masa Pandemi’, yang digelar Akatara dan Jurnalis Sahabat Anak bersama UNICEF, Sabtu (14/8/2021), mengatakan kalau perlindungan dan pendidikan anak di saat pademi sangatlah penting.
“Pandemi memang membuat dunia pendidikan ikut terpuruk, tetapi kita juga harus bisa bersama- sama berbuat agar pendidikan anak- anak tidak terhenti,” katanya.
Menurutnya, Covid-19 telah membuat perubahan besar, tak terkecuali paradigma pendidikan di negeri ini. Mulai dari orang tua yang mendadak harus berperan sebagai pendidik hingga bagaimana pendidikan harus menyesuaikan dengan situasi yang belum sepenuhnya aman dari pandemi.
Untuk itu cara pandang dan cara berpikir tentang pendidikan harus diubah agar pendidikan anak – anak bisa diselamatkan. Karena anak merupakan generasi emas bangsa di masa yang akan datang.
Dedy menambahkan, yang diperlukan anak di masa pandemi adalah perlindungan. Bentuk perlindungan bisa didapatkan dari program vaksinasi Covid-19 (bagi yang telah memenuhi ketentuan) maupun dari apa yang seharusnya didapatkan anak.
Misalnya dari asupan gizi yang baik, pemenuhan kesejahteraan kesehatan yang lain dan juga menjaga agar anak tidak mendapatkan toxic stress.
“Karena itu, perlindungan dan perhatian akan menjadi imun yang kuat bagi anak- anak,” ungkapnya menjelaskan.
Di dalam organisasi, lanjut Dedy, Himpaudi juga melakukan berbagai upaya dan kegiatan bersama, gotong royong, saling membantu untuk menguatkan para pendidik dalam menyelamatkan pendidikan anak usia dini.
Termasuk saling memotivasi, menguatkan dan tetap tidak lupa berinovasi. Sehingga pada saat menghadapi next new normal nanti, pendidikan anak – anak tetap siap dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
“Perlu diketahui anak- anak harus mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan. maka pendekatan budaya menjadi salah satu kiat untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman untuk anak- anak dan itu yang dilakukan di Himpaudi saat ini,” tambahnya.
Dalam kesempatan webinar ini, Pengamat Pendidikan Universitas Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Dr Ngasbun Egar MPd, melihat permasalahan ini dari sudat pandang Sosiologi Pendidikan
Menurutnya, kekhawatiran masyarakat terkait nasib sekolah anak – anak di masa pandemi ini akhirnya membuat beberapa lapis masyarakat mendadak mempunyai sikap “untung rugi” terhadap pendidikan jarak jauh selama ini dilakukan.
Dari perspektif Sosiologi Pendidikan, adanya sikap dan pandangan “untung-rugi” menjadikan sebagian anggota masyarakat melihat proses pendidikan –pada masa pandemi Covid-19, ketika akan-anak harus belajar di rumah– sebagai sesuatu yang merugikan.
Menurutnya, itu hal yang wajar jika pandangan tersebut tidak sekedar berorientasi ekonomi, karena anak – anak tidak mendapatkan hak pendidikannya secara optimal. Maka ini sebagai pertanda orang tua harus memberikan perhatian yang lebih baik terhadap pendidikan anaknya.
Tetapi jika orang tua berpandangan bahwa mereka ‘dirugikan’ karena anaknya belajar di rumah tetapi mereka harus tetap membayar iuran sekolah, tentu ini tidak bisa dibenarkan.
“Karena betapapun anaknya belajar dari rumah, tentu mereka tetap mendapatkan pendidikan, meskipun tidak bisa optimal,” katanya.
Maka sinergi antara keluarga (orang tua), para pendidik di sekolah serta masyarakat menjadi penting di masa pandemi Covid-19. Harus disadari bahwa kondisi ini merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki, tetapi ini harus disikapi guna mendapat win- win solution.
Misalnya untuk anak PAUD/ TK, perlu mengupayakan komunikasi intensif antara guru/ sekolah dengan orang tua melalui pertemuan- pertemuan virtual terjadwal untuk merumuskan bersama kegiatan belajar untuk anak- anak.
Atau merancang program bersama antara orang tua dan guru untuk kegiatan belajar anak. Di sisi lain, bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pendidikan sebagai investasi. Sehingga akan mendorong masyarakat untuk peduli pada keselamatan dan kesehatan anak- anaknya.
“Kalau kemudian ada orang tua, sekolah dan masyarakat termasuk tokoh masyarakat serta tokoh pendidikan yang bertanggung jawab kepada pendidikan anak, maka harus dipahami sebagai bentuk kerjasama yang kita yakini akan bisa meringankan tugas bersama,” jelasnya.
Di lain pihak, organisasi profesi guru seperti PGRI, IGTKI, Himpaudi dan lainnya, juga perlu meningkatkan perannya, antara lain dengan memberikan pendamping, pelatihan kepada para guru untuk meningkatkan kompetensi dan terus berkreasi / berinovasi.
Khususnya dalam menciptakan kegiatan pembelajaran yang efektif, mudah, menarik bagi anak, tidak membebani orang tua guna mengantarkan anak pada tujuan pendidikannya.
“Semangat dan motivasi mendidik para guru harus terus tumbuh, jangan kendor dan mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak dan orang tua dalam melayani hak pendidikan anak di masa pandemi,” tambah Ngasbun.
Narasumber lain, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Karanganyar, Agam Bintoro, menyampaikan, dalam konteks pandemi Covid-19, perlindungan merupakan hak yang harus didapatkan anak.
Menurutnya, pendidikan di masa pandemi telah mejadikan persoalan pemberian hak – hak anak juga semakin kompleks. Ada kendala psikologis maupun teknis ketika pendidikan mendadak berubah menjadi daring.
“Kendala teknis dipusingkan dengan bagaimana kesulitan mencari sinyal, kendala psikologis bagaimana mental dan semangat belajar anak merosot. Terlebih peran pendidikan bergeser dari sekolah ke rumah atau lingkungan keluarga,” jelasnya.
Menghadapi situasi tersebut, Kabupaten Karanganyar membentuk gugus tugas untuk mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang melibatkan lintas OPD. Ada lima klaster yang mendapat perhatian gugus tugas.
Meliputi hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan lingkungan pengajaran alternatif, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya serta perlindungan khusus.
“Pemkab Karanganyar juga menyiapkan program percepatan vaksinasi, yang salah satunya juga akan menyasar stakeholder pendidikan. Sehingga perlindungan terhadap kegiatan pendidikan dapat segera diwujudkan,” jelasnya.
Sementara itu, dalam rangkaian kegiatan webinar ini diawali dengan penayangan Wayang Kancil dengan judul ‘Kala Kancil Antre Vaksin” yang dimainkan oleh Sanggar Seni Sarotama, Asal Kabupaten Karanganyar.
Kepala Perwakilan UNICEF Surabaya, Ermi Ndoen, juga merespon positif pagelaran wayang virtual yang dimainkan oleh dalang cilik, Muhammad Raffiandra Alvaro, murid yang masih duduk di kelas 4 SD tersebut.
Menurutnya, pendekatan dari sisi budaya merupakan sebuah inovasi dalam mengkampanyekan perlindungan anak dari pandemi Covid-19 dan UNICEF sangat mengapresiasi anak – anak masih memiliki semangat besar mempertahankan budayanya.
Terlebih, kesenian wayang tidak hanya sekedar tontonan, namun juga syarat nilai – nilai tuntunan melalui berbagai katrakter para tokohnya.
“Tak hanya itu, di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, kesenian wayang pun juga bisa dimainkan secara virtual,” tegas Ermi.