blank

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Tulisan minggu lalu tentang tepung sungut, -yakni wis tepung nanging durung nate weruh rupane: sudah sering kontak-kontak akrab akan tetapi belum pernah bertatap muka- , perlu dilengkapi dengan ungkapan serupa padahal beda makna, yaitu adu sungut. Apa bedanya?

Kalau tepung sungut bernuansa penuh persahabatan meskipun belum pernah bertemu muka; adu sungut justru berkebalikan, karena hawane mung arep congkrah, yakni serba ingin bertengkar, atau merpertengkarkan apa saja.

Itulah “jahatnya” adu sungut, karena pada intinya, ada saja orang/pihak-pihak yang hidup hariannya “mung padha dene golek(i) dadakaning padudon;” yakni saling kedua belah pihak (kubu?) sama-sama mencari dan mencuri kesempatan untuk “bertengkar” atau “mempertengkarkan” apa saja.

Baca Juga: Tepung Sungut Melawan “Semua akan Mumet Pada Waktunya”

Pihak A mengambil langkah-langkah keputusan, dan sertamerta pihak Z cari dan curi perhatian lewat mempermasalahkan (intinya golek dadakan, cari triger) apa saja terkait langkah keputusan itu. Pada sisi kubu A, kadang-kadang juga “nakal” karena langkah kebijakannya itu sangat boleh jadi ada udang di balik batu untuk “melemahkan” kubu Z.

Begitu seterusnya, antar kubu anane mung golek(i) dadakan, antar kubu hanya cenderung cari dan curi kesempatan untuk menemukan pemantik (triger).  Kalau pemantik itu menjadi trending, apalagi disambut khalayak secara gegap gempita, wahhhhhh senenge.

Adu sungut, dalam kondisi normal memang menarik dan menggambarkan dinamika berdemokrasi; akan tetapi alangkah menyedihkannya di saat pandemi seperti saat ini, teganya-teganya ada saja pihak yang menggunakan adu sungut sebagai strategi mencari dan mencuri perhatian (khalayak).

Menyedihkan

Alangkah menyedihkan, di saat prihatin dan sedih lha kok malah ditantang bertengkar, atau sekurang-kurangnya dipanas-panasi, dikompori lewat mencela kebijakannya, atau lewat ngeledek, komen-komen sinis, nylekit, dst dan ujung-ujungnya hanya mau cari dan curi perhatian belaka.

Pasti ada yang protes, memangnya tidak boleh berstrategi adu sungut berhubung  “mandat tugas dan fungsi” kami memang harus bersikap kritis terhadap apa saja dan siapa saja. Jawabannya boleh, dan sangat boleh; namun apa pun dan betapa pun mulianya mandat  pekerjaan Anda, sikap etis hendaklah menjadi pegangan terakhirnya.

Kalau ibu mertua saya sedang bersedih, apakah etis kalau saya (mandat pekerjaan saya sih memberantas kejahatan)  sertamerta membeberkan tindak kejahatan kakak  iparku yang ternyata bersekongkol dengan temannya menghabisi nyawa ayah mertuaku? Sekali lagi etiskah berbuat tidak etis di saat kondisi penuh prihatin dan sedih dan itu menyangkut keluarga sendiri?

Di satu sisi, memang mencari dan mencuri perhatian khalayak (dalam rangka mengibarkan bendera) menggunakan strategi adu sungut, sangatlah mudah justru di saat kondisi  pandemi seperti sekarang  ini.

Meski pun begitu, mosok hanya karena ingin ngerek gendera (mengibarkan bendera) Anda rela kehilangan signal-signal etika dan moral kehidupan sosial? Janganlah berbuat seperti itu; dan ingat ke depan hidup kita itu masih panjangggggggggggg!!!

(JC Tukiman TarunasayogaPengamat Kemasyarakatan)