Oleh: Mubarok, MSi
PESATNYA perkembangan teknologi komunikasi menumbuhkan masyarakat jaringan yang mendunia. Beragam peristiwa berskala lokal, regional, nasional bahkan internasional, dengan mudah diketahui. Sekat-sekat geografis tidak menghalangi pengetahuan manusia terhadap beragam peristiwa.
Manuel Castel dalam tulisannya berjudul The Rise of Network Society, mengingatkan kita bahwa perkembangan teknologi komunikasi akan mengubah beragam tatanan kehidupan manusia. Perubahan tatanan kehidupan terjadi dalam semua aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, pendidikan.
Perubahan tersebut memunculkan beragam fenomena yang sebelumnya tidak ada. Salah satu fenomena yang dihadapi masyarakat di era digital adalah, banjir informasi. Media massa seperti televisi, radio, media online, dan koran, memproduksi informasi bagi publik. Di sisi lain, media sosial seperti facebook, instagram, grup whatsapp juga berperan membagikan informasi kepada publik.
Terpaan informasi yang diterima oleh seseorang tentang peristiwa yang sama, berasal dari beragam sumber dengan jumlah yang masif. Banjir informasi ini sebelumnya tidak terjadi, karena teknologi komunikasi belum berkembang pesat.
Beragam persoalan yang muncul akibat banjir informasi adalah, kesulitan untuk mengidentifikasi kebenaran informasi, membedakan kenyataan dan ilusi, membuat kehidupan manusia semakin kompleks, karena informasi yang muncul bertubi-tubi, patah tumbuh hilang berganti.
Menurut Bell dalam tulisanya tentang cyberspace menyebutkan, bahwa ruang digital membuat individu semakin jauh dari realitas hidupnya. Banjir informasi membuat kita kesulitan memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Dunia virtual menempatkan manusia dalam kebingungan karena sulitnya memahami fenomena.
Menghadapi kompleksitas realitas virtual tersebut maka kita seringkali melakukan reduksi untuk menyederhanakan persoalan. Reduksi adalah upaya yang dilakukan oleh manusia untuk bisa menyederhakan masalah yang kompleks, agar bisa dipahami secara sederhana. Dalam studi fenomenologi terdapat beberapa jenis reduksi yang dilakukan, di antaranya eiditis, transcendental, dan fenomemologis.
Dalam reduksi eiditis, kita mencoba untuk menyederhanakan banyaknya informasi dengan melakukan visualisasi yang imajinatif. Artinya, dalam pikiran kita membuat gambaran fenomena yang sederhana dari rangkai informasi yang diperoleh.
Sebagai contoh, kita mendapat informasi di Jawa Tengah angka penderita covid-19 naik, rumah sakit penuh pasien, tabung oksigen langka, antrean apotek mengular. Banyaknya informasi tersebut kemudian disederhanakan dalam imajinasi kita, bahwa Jawa Tengah sedang tidak baik-baik saja. Gambaran tentang Jawa Tengah dalam benak kita tersebut adalah proses menyederhanakan beragam informasi yang kita terima.
Reduksi kedua yang sering dilakukan untuk menyederhanakan kompleksitas persoalan adalah, reduksi transcendental. Manusia menggunakan bekal keyakinan agama, nilai-nilai sosial dan budaya, pengalaman hidup, pendidikan, nilai keluarga untuk menemukan hakekat dari persoalan yang dihadapi. Pandemi covid-19, dengan banyaknya informasi yang diperoleh kemudian disederhanakan sebagai fenomena musibah, cobaan, teguran kepada manusia atau bahkan azab Tuhan.
Ketiga, adalah reduksi fenomenologis, dimana kita menyingkirkan hal-hal subjektif agar bisa memahami fenomena secara objektif. Memilah informasi dengan hanya memilih sumber informasi yang kredibel, menjadi salah satu caranya.
Sebagai contoh, kita hanya menerima informasi dari media kredibel, dan menutup kran informasi dari sosial media. Hanya mendengarkan informasi dari teman yang dipercaya dan mengabaikan dari yang lain. Upaya-upaya ini ditempuh, agar kita tidak kebanjiran informasi sehingga sulit untuk menemukan objektifitas.
Sulitnya Menemukan Kebenaran
Reduksi pengalaman di dunia digital, adalah sebuah keniscayaan yang akan kita lakukan. Tanpa proses tersebut, dunia kita seolah penuh sesak dengan beragam informasi. Kita kesulitan untuk memahami fenomena, karena tidak bisa menemukan inti dari persoalan.
Reduksi bisa menyederhanakan kompleksitas persoalan, meski tidak berarti bahwa yang ditemukan adalah sebuah kebenaran. Bisa jadi dalam proses reduksi, kita tidak sampai pada kebenaran fenomena. Karena itu perlu hati-hati dalam menyederhanakan kompleksitas persoalan, karena banyaknya informasi yang diperoleh.
Hal yang penting untuk diingat bahwa, setiap individu melalui proses-proses reduksi tersebut. Karena itu, ketika pemahaman terhadap sebuah persoalan menjadi berbeda, tidak perlu kemudian menjadikan kita berkonflik.
Sebagai contoh, ketika ada yang memahami pandemi sebagai musibah, dan yang lain memahami sebagai teguran, maka terimalah. Tidak perlu menjadikan perbedaan ini sebagai bahan konflik. Setiap individu berusaha untuk mereduksi beragam pengalaman, sehingga kompleksitas persoalan bisa dipahami.
– Mubarok MSi, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Unissula Semarang –