WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Sejumlah warga dari berbagai daerah di Wonosobo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Pelecehan Seksual (AMAPS), Selasa (16/3), menggeruduk Kantor Pengadilan Negeri (PN) setempat.
Kedatangan AMAPS ke PN Wonosobo guna mendesak seorang guru sekolah swasta yang melakukan aksi pelecehan seksual kepada siswanya dituntut hukuman maksimal. Karena pelaku seorang pendidik dan korban muridnya yang masih di bawah umur.
“Kami Aliansi Masyarakat Anti Pelecehan Seksual (AMAPS) mendesak pelaku untuk dihukum maksimal dari tuntutan yang ada. Jangan sampai kasus seperti itu terjadi lagi. Apalagi pelaku merupakan seorang guru,” ujar Koordinator AMAPS, Saiful Haris.
Saiful mengatakan, kedatanganya bersama ratusan simpatisan untuk mengawal jalanya sidang. Dirinya mengancam akan membawa masa hingga ribuan apabila pelaku tidak dijatuhi hukuman maksimal dalam putusan di PN setempat.
Menurutnya, dari laporan yang masuk ke orang tua murid, terdapat 25 anak yang dicabuli. Namun warga kesulitan mendapatkan bukti. Jadi hanya beberapa anak yang dilaporkan alami pencabulan. Perbuatan pencabulan jelas melanggar norma agama.
“AMAPS akan terus mengawal jalanya sidang. Jika nanti putusan hukuman di PN tidak sesuai dengan tuntutan, maka warga akan datang ke sini dengan membawa masa yang lebih banyak lagi,” tandasnya.
Proses Sidang
Seperti diberitakan, seorang oknum guru di salah satu sekolah swasta di Wonosobo diduga mencabuli puluhan murid perempuan. Ada 25 siswinya yang diduga menjadi korban pelecehan seksual atau perbuatan cabul.
Pria berinisial NM (36) yang menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah itu kini masih diproses secara hukum di PN Wonosobo. Orang tua siswa menuntut pelaku diberi hukuman yang setimpal dari perbuatan melanggar yang telah dilakukan.
Humas PN Wonosobo, Galih Rio Purnomo membenarkan terkait hal tersebut. Proses sidang kini telah memasuki tahap pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntun Umum (JPU). Pelaku dituntut pidana penjara selama tujuh tahun dengan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan.
“Dari jalanya proses persidangan, kasus ini termasuk pencabulan karena belum sampai berhubungan badan. Rata-rata korban yang menerima pelecehan seksual itu adalah anak yang masih di bawah umur,” ujarnya, Rabu (17/3).
Galih menjelaskan, proses persidangan sempat terkendala hadirnya korban. Korban yang masih di bawah umur, mengalami traumatis. Dari beberapa korban hanya satu yang bisa dihadirkan dalam persidangan.
“Fakta di persidangan korban lebih dari satu. Namun yang bisa dihadirkan hanya satu orang. Korban masih merasa trauma. Sehingga menjadi kendala dalam menghadirkan korban di proses persidangan,” ungkapnya.
Muharno Zarka