Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
Silaturahim dari kata “shilah” yang berarti sesambung dan “rahim” – “arhaam,” (QS. 4/1, dll.) berarti kandungan, kerabat, famili. Ulama hadits sebagaimana dalam Sahih Bukhari (5983), Sahih Muslim (4631), Sunan Abu Dawud (1439), Sunan Tirmidzi (2511) maupun yang lain menggunakan istilah silaturahim bukan silaturahmi.
Memang lafal “rahmi” dengan “rahim” memiliki arti yang sama yaitu “mustaudi’ul janiin” yang berarti rahim-peranakan (Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir, 518). Kemudian dari kata tersebut muncul kata “ruhamaa’u” yang berarti kasih sayang (QS. 48/29).
Jadi, seorang muslim setelah silaturahim dengan “Arhaam” melalui hidup saling mengasihi, saling membantu, saling menopang, kemudian dilanjutkan saling menyayangi, saling membantu, saling nenopang kepada sesama muslim dan kemanusiaan.
Hal ini untuk melanjutkan the holy mission Nabi saw.sebagai pengemban rahmatan lil ‘Aalamien (QS. 21/107).
Dalam salah satu hadits, Nabi saw. bersabda:
من احب ان يبسط عليه في رزقه و ان ينساء له في اثره فليصل رحمه
Artinya: Barangsiapa yang berkehendak dilapangkan rizkinya dan ditunda akhir hayatnya hendaklah bersilaturahim (Bukhari no. 5983; Muslim no. 2555).
Ada lagi hadits yang berbunyi:
لا يردالقدر الاالدعاء ولا يزيد في العمر الا البر وان الرجل ليحرم الرزق بذنب يصيبه.
Artinya: Tidak bisa menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang menambah umur kecuali perilaku yang baik.
Sesungguhnya seseorang akan dijauhkan rizkinya oleh dosa yang ia lakukan. (Sahih Attarghib watTarhib no. 2540).
Para ulama’ mengkorelasikan hadits tsb. dengan ketentuan ajal yang telah ditentukan (QS. 7/34; 16/61) dalam dua makna.
Pertama, makna hakiki. Yaitu orang yang bersilaturahim akan bertambah umurnya, meskipun dalam pengetahuan malaikat telah ditentukan lifetime-nya enam puluh tahun umpamanya.
Akan tetapi jika kehendak Allah SWT akan menghapus (yamhuu) karena ikhtiyar manusia, umur dia bisa bertambah menjadi tujuhpuluh tahun misalnya.
Makna Majazi
Dan kalau ia memilih bunuh diri maka Ia akan menghapus dan mengurangi pula umurnya menjadi limapuluh tahun misalnya. Dan semua itu diketahui oleh-Nya sejak azali dalam kitab-Nya (QS. 13/39).
Kok bisa? Ya! Karena umur yang ada di tangan Malaikat sebagai takdir mu’allaq yang masih tergantung pada ikhtiyar (pilihan) manusia. Prof. M. Quraish Shihab menafsirkan firman Allah SWT. “Wa man nu’ammirhu nunakkishu fil khalq” (QS. 36/68).
Maksudnya bahwa batasan ajal ada keterlibatan manusia sendiri, dengan indikator Kalam Allah tersebut menggunakan nun mutakallim ma’al ghair.
Kedua, makna majazi. Makna ini dinyatakan oleh sebagian ulama, maksudnya bukan umur waktu hidup yang dipanjangkan, tetapi nilai keberkahannya. Meskipun usia hanya enampuluh tahun, tetapi manfaatnya bisa berabad-abad misalnya.
Dalam kajian sains, silaturahim ikut menjadi faktor penentu panjangnya umur. Karena sulaturahim bisa memicu timbulnya berbagai hormon bahagia seperti dopamin, serotonin, endorfin dan khususnya oksitosin atau hormon cinta.
Hormon ini dapat meningkatkan empati, kepercayaan dll. Dengan keadaan psikis yang bahagia dan sehat, maka fisik akan terpengaruh menjadi sehat juga. The Crown Street Resource Centre menampilkan bukti nilai positifnya pertemanan (silaturahim) yang bisa menambah suasana bahagia dan panjang umur.
Seorang konsultan psikologi klinis di Mersey Care NHS Trust menyatakan hal yang senada. Buettner dalam penelitian terhadap Blue Zone yang mempelajari para Centenarian, juga menyimpulkan hal yang sama. Mestinya, kaum muslimin dengan ajaran silaturahim dan menjadi sebaik-baik manusia harus menjadi umat dengan umur yang panjang.
Karena Nabi SAW bersabda, sebaik-baik manusia adalah yang panjang usia dan baik amalnya, begitu sebaliknya (Sahih At-Targhib war-Tarhib no. 3363).
Kalau umat Islam kisarannya masih umur 72-77 th. dan masih kalah dengan Monaco (98 th.), banyak faktor lain mesti dikaji.
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!!!
Penulis Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo