Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
III. Mizan Iqtishadiyah
Sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.datang, masyarakat dunia pernah mengenal agama Zorouster sekte Masdakiyah yang sosial ekonominya bersifat “Sosial-Komunalistik.”
Sedangkan masyarakat Quraisy Jahiliyah, mereka adalah komunitas pebisnis handal yang individual-kapitalistik dan kebanyakan berpandangan “material-sekularistik”. Mereka mengimani Allah, tetapi juga menyembah berhala dan mengingkari hari kebangkitan (QS. 6: 29).
Ketimpangan sosial-ekonomi Jahiliyah ini pernah dicoba untuk diseimbangkan oleh tiga tokoh Quraisy dengan perjanjian (hilful fudhul), tetapi gagal.
Setelah Islam datang, terma dagang yang pada masyarakat Jahiliyah selalu dimaknai wujud komoditas, atau jasa yang bersifat real dan material, oleh Al-Qur’an dimizankan dengan memberi makna spiritualitas berupa iman dan jihad (QS.61: 10-11).
Ayat tersebut mendiskripsikan bahwa iman dan jihad (siap sedia menaati sistem Islam), tak lain dan tak bukan juga komoditas akhirat yang bisa mendapat laba berlimpah.
Kebanyakan masyarakat Jahiliyah menjadi pemilik modal pencari renten-riba (rent seeking society) dan menghisap darah serta keringat sesamanya (exploitation de l’homme par l’homme).
Oleh Al-Qur’an mereka diminta untuk berhenti dan diperintah agar menghutangi Allah YM Kaya yang sanggup melipatgandakan bunga piutang mereka di akhirat (QS. 57:11). Mereka diminta menjadi kreditur, dan Allah SWT. Sebagai debitur.
Caranya, mereka diminta memberikan atensi dan hartanya kepada delapan kelompok manusia yang kurang beruntung, semata-mata karena Allah SWT. (QS. 9: 60). Pemberiannyapun dengan bermizan, tidak boleh bakhil, sekaligus tidak obral tanpa batas (QS. 17: 29).
Individual-Kapitalistik
Debitur yang sudah punya uang dipandang zalim jika menunda pembayaran hutangnya (Bukhari no 2400; Muslim no 1564). Kreditur yang mengetahui debitur dalam kesulitan membayar hutangnya, diminta untuk memberi penangguhan pembayaran hutang tsb. (QS. 2: 280 ).
Agar terjadi mizan kehidupan dalam sosial ekonomi, tiap individu dididik untuk giat bekerja demi mengubah nasib mereka sendiri (QS. 13: 11). Mereka diajari bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah (Bukhari 1427; Muslim: 1053). Tiap muslim pantang mengemis jika tidak darurat.
Barangsiapa yang meminta-minta untuk memperbanyak harta, sama dengan meminta bara api neraka (Muslim: 1041). Lewat nabi-Nya, Allah SWT. mengajarkan doa untuk tidak bergantung pada manusia (An-Nawawi, Syarh Muslim: 17/41). Tiap individu dididik untuk bergantung hanya kepada Allah SWT. (QS.112: 2).
Masyarakat yang hidup dalam sistem individual-kapitalistik seperti itu dimizankan dengan masyarakat sosial-komunalistik via terma “ta’aawun ‘alal birri wattaqwaa” (QS. 5: 2).
Masyarakat individual-kapitalistik digeser ke arah masyarakat sosial-komunalistik yang bertanggung jawab dengan menjalankan zakat, sedekah, hadiah, hibah, infak, wakaf dan lain sebagainya.
Masyarakat yang masih melestarikan perbudakan, dengan berbagai bentuk ibadah dan kaffarah diberi kesadaran untuk memerdekaan budak (QS. 90: 13). Dengan demikian tritmen Islam dalam memizankan ekonomi tidak dengan pemancing kemalasan, tetapi memancing kemandirian kecuali jika pemberian tersebut di waktu darurat (QS. 90: 14).
Sebaliknya masyarakat sosial-komunalistik diarahkan ke masyarakat individual-kapitalistik yang berhak menjadi kaya selama bertanggung jawab kepada orang yang kurang beruntung.
Dalam pada itu, Prof. Amin Rais menyebut bahwa dalam ekonomi Islam 60 persen bersifat komunalistik dan 40 persen bersifat kapitalistik. Menurut saya pendapat itu bisa untuk simplifikasi gambaran, tetapi sebenarnya tidak serigid itu.
Yang penting harus diwujudkan dalam perimbangan atau mizan secara legal formal oleh para ulama’ dan umara’ pada zamannya baik dalam bahasan fiqh ataupun regulasi legislatif dan eksekutif.
Wallahu A’lam bis-Shawaab!
Penulis Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo