WONOSOBO- Ide kreatif dicetuskan Eko Yuianto SE (33). Bagaimana tidak? Pasalnya, pemuda asal Dusun Bowongso RT 2 RW 1 Desa Limbangan Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo ini, berhasil mengolah biji salak menjadi minuman beraroma “kopi”.
Padahal, umumnya biji salak setelah diambil dagingnya untuk dimakan, dibuang begitu saja. Biji salak yang berwarna coklat tua itu pun kerap dianggap menjadi barang limbah alias tak berguna apa-apa.
Tapi di tangan Eko – yang juga alumnus Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo ini, biji salak bisa direkayasa menjadi minuman serupa kopi yang sangat nikmat dan mantap diseduh.
Biji salak atau yang lebih dikenal dengan sebutan geol, setelah diolah menyerupai serbuk kopi yang berwana coklat kehitaman dan rasanya tak jauh dari aroma kopi, olahan ini dinamai “Kopi Biji Salak”.
Meski menggunakan nama “kopi”, namun serbuk “kopi” biji salak ini sama sekali tidak dicampuri sedikit pun serbuk biji kopi asli. Namun, uniknya, aroma rasa kopi dalam serbuk ini tetap terasa.
Penamaan “kopi” dalam serbuk minuman ini, ungkap suami Nur Hidayah (31), hanya lantaran rupa dan rasa serbuk biji geol salah menyerupai serbuk dan minuman kopi. “Jadi nama kopi bukan karena ada campuran serbuk kopi,” ujar dia, Jumat (16/3).
Bagaimana rasanya? Tak jauh dari rasa minuman kopi biasa yang terasa pahit. Hanya saja aroma pahit dalam serbuk kopi biji salak ini tidak begitu melekat. Sebaliknya, dalam minuman ini ada aroma asam khas buah salak.
Namun, kata Eko, tidak mengurangi kenikmatan ketika pencinta minuman berkafein ini saat menyeduh minuman “kopi” biji salak yang tergolong langka dan unik ini. “Jika kopi biasa memicu hipertensi, kopi biji salak justru bisa menurunkan kolesterol”, ucapnya.
Karena itu, imbuh pria kelahiran 15 Juli 1987 ini, menyebut minum kopi biji salak bisa menjadi tradisi baru cara nikmat untuk sehat. Para penikmat kopi bisa menikmati minuman ini tanpa dibayang-bayangi kekhawatiran dampak negatifnya.
Warna dan bentuk serbuk kopi geol salak ini tak jauh beda dengan serbuk kopi asli. Hanya warnanya dominan lebih coklat dan tidak sehitam warna serbuk kopi biasa. Cara menyeduhnya sama mengunakan air panas dan dicapur gula pasir.
Kini produk kopi biji salak pun sudah banyak dijajakan di pusat oleh-oleh makanan khas di Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung dan Magelang. Bahan minuman dikemas dalam plastik transparan berlebel “Kopi Biji Salak”.
Usaha Baru
Ide pembuatan serbuk kopi biji salak ini berawal dari coba-coba. Geol salak yang teronggok di pelataran rumah petani salak di kampungnya, di mata Eko, terasa sayang bila tidak dimanfaatkan. Sebelum itu, dia juga mencoba membuat manisan salak tapi gagal.
“Geol basah saya jemur sampai kering lalu saya sangrai. Biji salak kering itu terus saya tumbuk sampai hancur dan menjadi serbuk dan saya minum. Kok rasanya mirip kopi ya,” pikirnya saat itu.
Insting bisnis Eko pun bergeliat. Peluang tersebut dia manfaatkan sebagai ladang pengembangan usaha berbasis bahan limbah. Setelah melalui berbagai uji coba akhirnya jadilah paduan rasa kopi biji salak seperti yang ada sekarang ini.
Gara-gara sukses mengolah geol biji salak ini, ayah dari M Arkan Rakasiwi, mendapat anugerah dalam ajang Citi Microentrepreneurship Awards 2015 (CMA), yang digelar Citybank bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM RI.
Dia berhasil menjadi yang terbaik untuk kategori wirausaha mikro berwawasan lingkungan berkat keterampilannya mengolah limbah salak. “Dalam presentasi saya alhamdulillah berhasil menyisihkan kompetitor lain,” tuturnya bangga.
Selulus kuliah Eko sempat bekerja sebagai customer service dan teller di Bank BRI Wonosobo selama 3 tahun. Tetapi kemauannya untuk menjadi pengusaha lebih kuat. Dia memutuskan mundur sejak Desember 2013 lalu dan mulai serius mengolah salak.
Berbekal modal Rp 500.000, Eko mulai membeli alat-alat seperti wajan untuk mengolah biji salak menjadi kopi. Dia telaten mengais limbah biji salak dari ladang warga sekitar rumahnya.
“Bahan bakunya melimpah. Di pelataran rumah warga banyak biji salak hanya dianggap sebagai sampah. Geol salak itu biasanya dibiarkan begitu saja dan dibuang karena dianggap tak laku jual,” kata dia.
Eko menyebut bisnis yang dia geluti cukup menjanjikan. Meski dari segi pemasaran dia masih perlu usaha untuk mengedukasi pasar, namun usahanya dari tahun ke tahun terus bertumbuh. Satu kemasan 100 gram kopi biji salak merek “Kiebae” dijual Rp 15 ribu.
Tiap bulan dia memproduksi sekitar 40 kilogram kopi biji salak yang dipasarkan secara online, di arena pameran dan distribusi ke toko-toko makanan di beberapa kota. Dia juga sudah memasarkan produknya sampai ke Bali dan Yogyakarta.
Omset penjualannya meningkat dengan rata-rata sebesar 30%-35% per tahun. Pada tahun pertamanya 2012, Eko dan kelompok usahanya membukukan omset sekitar Rp 47 juta. Tahun lalu omsetnya melejit hingga Rp 82 juta dengan laba sekitar Rp 30 juta.
Selain itu, usaha Eko juga mempunyai aset yang sudah terbilang besar yakni Rp 60 juta, termasuk mesin giling, pengering dan sealer. Lewat kelompok usahanya, dia juga membantu kehidupan sekitar 20 orang ibu-ibu yang diberdayakannya.
suaraBaru.id/emhaka