SEMARANG – Sinkronasi antara pencari kerja dan pemberi kerja dirasa belum optimal. Pasalnya, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, jumlah pengangguran paling tinggi berdasarkan jenjang pendidikan di wilayah setempat justru di tingkat SMK yang mencapai 13,69 persen. Boleh dibilang ironis, karena SMK merupakan sekolah vokasi yang digadang-gadang mampu mencetak lulusan siap kerja. Menyikapi fenomena itu, Politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hanjaya Setiawan menilai kurikulum pendidikan vokasi perlu diubah. Pihak sekolah harus menyesuaikan kondisi lapangan kerja, paling tidak dalam lima tahun ke depan.
“Harus melihat, kira-kira tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan industri. Semisal SMK perhotelan, coba tanya sama hotel-hotel. Front office, pramusaji, chef itu sudah sesuai apa belum. Jika belum seperti apa yang diperlukan, berarti kurikulum pendidikannya disesuaikan agar lulusannya sesuai dengan kebutuhan industri,” ungkapnya. Selain itu, porsi belajar mengajar di kelas dan praktik kerja juga perlu pembenahan. Dia menyatakan materi pembelajaran SMK harus fokus pada satu bidang saja. Itu pun dalam bentuk praktik, teori hanya sebagai penggenap saja.
Menurut dia, penguasaan praktik bagi siswa SMK sudah harga mati. Pihak industri pun bisa mengirim tenaga ahli untuk mengampu praktik di sekolah. “Kalau SMK tidak punya cukup alat, bisa praktik di industri. Istilahnya magang. Jadi sekolahnya langsung praktik memegang alat di industri itu. Setelah lulus, bisa langsung kerja di situ,” tegas pengurus DPP PDIP yang juga Caleg DPR RI dapil Kendal, Semarang, dan Salatiga ini.
Sistem seperti itu sudah diterapkan di Jerman. Di sana, sekolah vokasi memang mengutamakan praktik. Bahkan porsi praktiknya 70 persen. “Industri memang harus dilibatkan untuk mencetak lulusan SMK siap kerja,” paparnya. (rr)