REMBANG (SUARABARU.ID) – Ternyata banyak aset (lahan) Perhutani di luar kawasan hutan yang belum tedata dengan benar, dan kini dimanfaatkan secara sepihak oleh perseorangan tanpa adanya perjanjian kerja sama.
Untuk keperluan itu, Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Mantingan, menggelar sosialisasi penanganan dan penyelesaian Konflik Tenurial, baik dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan.
Kegiatan yang dipimpin Wakil Administratur KPH Mantingan, Dwi Anggoro Kasih itu, berlangsung di ruang rapat kantor KPH Mantingan, baru-baru ini.
Sosialisasi dihadiri Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Perhutanan Sosial Kepala Urusan Teknik Kehutanan (Kaur TK), Sumarto, para mandor Polisi Teritorial (Polter) Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) wilayah Mantingan.
Hadir juga, Isnina Sakdiyah, dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pendampingan Perhutani Karya Alam Lestari (Kalal).
Dalam penjelasannya, Dwi Anggoro mengatakan, bahwa pentingnya pejabat Kaur TK mengetahui dasar hukum tanah-tanah diluar kawasan Hutan itu harus perlakuannya seperti apa.
Menurut Waka Administratur, aset-aset Perhutani yang sekarang ini banyak bertebaran dimana-mana, diperlukan pentaan dan pengelolaan yang baik.
“Kita harus mulai mendata semua aset Perhutani KPH Mantingan, karena semua aset harus didata dan bisa dibuat perjanjian kerjasama kepada pihak ketiga,” kata Dwi Anggoro.
Kerja Sama
Menurut Dwi, agar aset Perhutani tetap menjadi milik Perhutani, perlu untuk memberikan pemahaman aturan main dalam mengurus dan mendata aset yang ada.
Kepengurusan aset, lanjut Dwi anggoro, berdasar surat keputusan (SK) yang dikeluarkan ddireksi nomor: 145/KPTS/Dir./H/2020.
“Adapun pemilikan kembali aset Perhutani, bertujuan untuk memanfaatkan dan menggunakan aset yang ada, antara lain melalui bentuk kerja sama dengan pihak ketiga.
Adapun sosialisasi Konflik Tenurila, jelas Waka Administratur KPH Mantingan, sedikitnya ada enam faktor yang perlu pahami bersama,” kata Dwi..
Faktor pertama, mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan pemanfaatan, dan penggunaan hutan.
Kedua, menghindarkan miskomunikasi ataupun salah persepsi antara Perum Perhutani dengan stakeholder.
Ketiga, mendorong proses pembelajaran bagi lembaga agar memiliki sikap tanggung jawab terhadap pilihan keputusan, dan kegiatan yang sedang laksanakan.
Keempat, mendorong proses pembelajaran bagi masyarakat, dan melembagakan sikap tanggung jawab terhadap pilihan keputusan maupun kegiatan yang dilaksanakan.
Kelima, membangun kepercayaan semua pihak (trust building) terhadap pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan Keenam, membangun kepercayaan semua pihak (trust building), yakni pelaksanaan kegiatan dengan mindset saat ini.
Diakui Dwi Anggoro, saat ini banyak aset Perhutani yang digunakan masyarakat, namun tanpa ada perjanjian kerja sama.
Ke depan, kanjut Dwi, perlu ada pendampingan dari LSM dan sosialisasi bahwa tanah yang ditempati oleh masyarakat itu bisa dikerjasamakan.
Bahkan sebagian ada yang menempati tanah diluar kawasan, dan tahu bahwa itu tanah Perhutani, tapi belum pernah disosilalisasi ihwal tanah yang ditempati itu.
“Mereka mengakui, bahwa tanah yang ditempati itu miliknya Perhutani, maka ini yang perlu aktif disosialisaaikan,” tandas Waka Administrstur KPH Mantingan.
Maka seiring berjalannya waktu, Dwi Anggoro berharap yang menempati tanah-tanah diluar kawasan hutan, bisa segera dibuatkan perjanjian kerja sama dengan pemakai.
Wahono-trs