SEJALAN dengan makin majunya industri film di Indonesia, pemerintah juga membuka jalan bagi investor asing masuk ke dalam industri perfilman Tanah Air. Pembuatan film sendiri harus didahului langkah pertama yang krusial, yaitu memperolah perizinan syuting film.
Izin pembuatan film ini tentu saja harus sesuai syarat dan prosedur yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Di mana khusus investor asing, perizinan pembuatan film ini dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri.
Namun sayangnya, meski keran di industri perfilman sudah dibuka, namun beberapa pelaku industri perfilman masih mengeluhkan terjalnya memperoleh izin pembuatan film.
Bahkan, investor asing masih harus menempuh jalan berliku, sebelum akhirnya bisa mengantongi izin pembuatan film di tanah Indonesia.
Sidik Ilmawan, produser dan pendiri Yayasan Tumbuh Sinema Rakyat dan Rumah Pohon Production House, mengeluhkan soal sulitnya proses perizinan syuting film di Indonesia.
“Khususnya TV atau media asing, sangat sulit memperoleh izin ini,” ujarnya.
Dirinya mengungkapkan, proses mendapatkan izin syuting di Indonesia dirasa lebih sulit jika dibandingkan di negara tetangga, seperti di negara Thailand dan Malaysia.
Di negara tetangga, surat izin pembuatan film tak memerlukan syarat dan ketentuan serta alur birokrasi yang berliku seperti di sini.
Kendala di perizinan yang belum atau tidak memiliki SOP yang baku membuat jadwal produksi bisa molor. Hal ini bisa berimbas pada membengkaknya biaya.
“Contoh riil, ada TV asing yang mau syuting Orang Utan di Sumatera. Untuk mendapat izin syuting dan visa sudah melalui tahap screening berbagai pihak termasuk unsur KLHK. Tapi begitu izin syuting sudah keluar dan tim produksi sampai lokasi, ternyata masih ada surat approval dari pejabat KLHK yang tidak diinfokan pada saat screening awal,” ujar Sidik.
Kendala berikutnya terkait Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing (TK KORA), yang terdiri dari banyak departemen dan kementerian terkait seperti kehutanan, kelautan, pusbang film, pertahanan, luar negeri, pariwisata, BIN, Bais, dan imigrasi.
Dirinya menjelaskan, TK KORA ini bertugas melakukan screening orang asing yang akan beraktifitas di Indonesia.
“Secreening dari TK KORA ini memerlukan waktu 1-2 minggu. TK KORA sendiri berada di ranah Kementerian Luar Negeri. Nah sering terjadi, walau sudah ada proses TK KORA, yang setiap unsur terkait sudah ada di situ, pada praktiknya tetap saja ada yang kurang/missed sehingga harus urus birokrasi lagi yang makan waktu dan biaya,” keluh Sidik.
Menurut Sidik, birokrasi di Indonesia perlu dipersingkat tanpa harus mengurangi kewaspadaan dan kehati-hatian.
“Karena mungkin terkadang ada production house (PH) atau TV asing yang merugikan pemerintah Indonesia karena pemberitaan atau isi tayangannya tidak sesuai fakta atau penggiringan opini tertentu. Nah, hal ini bisa diantisipasi pada saat screening yang melibatkan kemenlu, BIN, Bais, dan kementerian terkait lainnya,” katanya.
Untuk menciptakan gerbang perizinan yang lebih praktis dan mudah, studi banding ke Malaysia dan Thailand mungkin perlu dilakukan, terutama soal pengelolaan produksi film oleh PH atau TV asing. Karena menurut Sidik, di kedua negara tersebut industri produksi film berkembang sangat baik.
“Jadi menurut saya birokrasi harus dibakukan sehingga bisa dihitung biaya dan waktu pengurusannya dengan tepat. Perlu juga kiranya ada insentif dari pemerintah,” paparnya.
Sidik juga menyarankan pemerintah sebaiknya membuat pendaftaran atau perizinan film satu pintu guna lebih memudahkan proses sehingga meningkatkan minat PH asing untuk berproduksi di Indonesia.
Jika perizinan mudah didapatkan, maka akan makin banyak PH asing yang berinvestasi di sini, hal ini tentu saja menguntungkan, karena akan menambah devisa negara dari jalur perfilman.
Banyaknya keragaman budaya, suku, flora dan fauna, membuat banyak investor asing mulai melirik Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
PH yang bekerja sama dengan Netflix, Discovery, Nat Geo, dan OTT sejenis lainnya berminat produksi di Indonesia karena tertarik dengan kekayaan alam, keanekaragaman hayati, dan sosial budaya.
Misalnya film dokumentari David Blaine, Do Not Attempt, yang pernah mendatangi Indonesia khusus untuk mengulik secara detail soal debus, kesenian tradisional asal Banten.
Atau dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee And Jessica Wongso, TV Program Gardening Australia: Indonesia, film I Gusti Ngurah Rai, Story of Struggle, Friendship, Love and Faith, dan masih banyak lagi.
Menurut Sidik, banyaknya minat investor asing menggarap kekayaan Indonesia ini harus diimbangi dengan proses perizinan film yang mudah didapatkan. Sehingga, industri film dalam negeri makin berkembang, dan makin banyak investor asing yang mau masuk ke Indonesia.
HP