JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pemilih Indonesia memiliki literasi hoaks sedang. Mayoritas dari warga belum bisa membedakan antara fakta dan hoaks. Hal itu terungkap dalam diseminasi hasil survei yang dilakukan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Rabu (20/11/2024), melalui acara daring.
Survei itu dilakukan Komite Litbang Mafindo untuk mendapatkan gambaran tentang literasi hoaks dan partisipasi politik masyarakat. Survei juga mengkaji hubungan antara tingkat literasi hoaks dengan partisipasi politik masyarakat, serta dampak hoaks terhadap proses demokrasi, menjelang pilkada.
Riset ini melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang demografi, meliputi usia, gender, agama, tingkat pendidikan, dan pekerjaan, sehingga menghasilkan gambaran yang representatif tentang kondisi literasi hoaks di Indonesia. Tidak hanya faktor demografi, riset ini juga memperhatikan faktor psikografis partisipan, seperti minat, aktivitas, dan opini, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Supervisor Riset, Loina Lalolo K. Perangin-angin menyebut, belum ada data literasi hoaks yang memadai di Indonesia. Data Survei Literasi Digital Nasional 2022 menunjukkan rendahnya keyakinan masyarakat untuk mengenali atau informasi salah/tidak sesuai fakta bahkan berita bohong atau hoaks, hanya 7% yang menyatakan sangat yakin, 25 % yakin, sementara 45% antara yakin dan tidak yakin, serta sisanya mengaku tidak yakin.
Karena itu, Komite Litbang dan Program Tular Nalar Mafindo yang didukung Google.org meriset literasi hoaks di 20 provinsi, meliputi 10 provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi, dan 10 provinsi dengan IKP terendah. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak bertahap dan menghasilkan 2.011 responden.
Nuril Hidayah sebagai Program Officer Riset menyatakan literasi hoaks masyarakat perlu diukur secara khusus karena ada beberapa studi yang menunjukkan sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan antara informasi yang benar dan yang meragukan. Hasil survei yang dilakukan Mafindo menunjukkan bahwa tingkat literasi hoaks masyarakat Indonesia berada di kategori sedang.
Hal ini terlihat dari data bahwa sebanyak 60% responden tidak mengetahui bahwa klaim tentang Warga Negara Asing (WNA) diberi KTP untuk mencoblos adalah hoaks. Selain itu, 66,1% responden tidak mengetahui bahwa klaim Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu juga hoaks. Meski demikian, semangat masyarakat untuk melawan hoaks menunjukkan potensi besar untuk terus dikembangkan melalui edukasi.
Penelitian ini mengungkap bahwa partisipasi politik masyarakat di ranah daring cukup tinggi, sementara di ranah luring masih berada di level sedang. “Menariknya, terdapat hubungan positif antara literasi hoaks dan partisipasi politik. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi hoaks seseorang, semakin tinggi pula partisipasinya dalam aktivitas politik,” ujar Nuril.
Anggota tim riset, Finsensius Yuli Purnama menegaskan, literasi hoaks masyarakat Indonesia di level sedang karena secara kognitif pengetahuan mereka soal hoaks di level sedang atau 68%, yang tinggi mencapai 23,7% dan rendah 7,6%.Sementara partisipasi politik juga berada pada level sedang. Minat masyarakat mendapatkan informasi politik juga tinggi, yang didapat mayoritas melalui portal berita online. Fins juga menyatakan terdapat hubungan positif antara literasi hoaks dengan partisipasi politik. Semakin tinggi literasi hoaks, semakin tinggi pula pastisipasi politik mereka.
Mafindo berpendapat hasil penelitian ini penting untuk disebarluaskan kepada publik dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi hoaks dan mendorong upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan hoaks. Septiaji Eko Nugroho sebagai Ketua Presidium Mafindo mengatakan bahwa survei ini adalah bagian dari komitmen Mafindo untuk mendukung upaya memperkuat literasi digital, khususnya dalam menghadapi tantangan penyebaran informasi hoaks yang kerap kali mengganggu tatanan sosial, politik, dan demokrasi.