blank
Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia. (Foto: Dok)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Rumas Sakit Pendidikan RSUP Dr Kariadi disebut harus bertanggungjawab dalam dugaan perundungan dibalik peristiwa meninggalmya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip), dr. ARL.

Publik juga tetap diminta bersabar untuk mendapatkan kepastian apakah benar terjadi perundungan yang menjadi penyebab kematian dr. ARL.

Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia, Muhammad Joni mengatakan, hukum menjadi rujukan, bukan spekulasi, prejudice, apalagi prasangka subyektif dalam dugaan kasus tersebut.

Secara de facto dan de jure, ujar Joni, mahasiswa peserta PPDS FK Undip itu dalam relasi pendidikan dan pelayanan di RSUP Dr Kariadi. Kemudian untuk tempat (locus) perbuatan itu berada di lingkungan RS Pendidikan (RSP).

“Maka tidak lepas tanggungjawab hukum RS, Kemenkes bahkan Menkes,” ujarnya, Sabtu 7 September 2024.

Bilamana kemudian dugaan perundungan itu terbukti, Joni mengatakan, maka perbuatan dan atau dugaan delictum-nya harus diuji menurut hukum acara.

Menurut Joni, pada faktanya maupun tanggungjawab medisnya, peserta PPDS melakukan layanan dan tindakan medis terhadap pasien pada fasilitas kesesehatan (faskes) dengan status RSP.

Di mana, kata dia, secara hukum berada dalam pembinaan teknis dan administratif Menkes dan Kemenkes.

“Jadi, tipikal perbuatan dan peristiwanya bukan hanya kualifikasi perbuatan pendidikan dokter spesialis saja, namun dominan dalam kualifikasi pelayanan medis RS. Itu artinya berarsiran tebal dan turut serta bertanggungajawab secara hukum pihak Menkes, Kemenkes dan pimpinan RS,” tuturnya.

Terkait persoalan hukum yang terjadi dalam masalah ini, Joni mengatakan obyektifitas investigasi dan penyelidikan harus merdeka dari opini dan prejudice.

Di dalamnya, kata dia, termasuk juga untuk tidak mengumbar fakta atau seakan fakta yang belum teruji secara saintifik, evidance based, dan mematuhi hukum acara dengan prinsip presisi yang dapat membentuk opini publik.

Masih terkait dugaan perundungan, Joni menilai perlu diperiksa dan diuji apakah fakta, perbuatan, ataupun serangkaian perbuatan itu dalam konteks penyelenggaraan PPDS, relasi dan interrelasi personal-sosial di luar aras PPDS, atau perbuatan norma etika kedokteran sesama sejawat dokter, atau perbuatan pidana.

Dia menegaskan, penyidik Polri jangan sampai keliru dan gagal mengidentifikasi norma etika dokter ataukah perbuatan hukum.

“Apapun metode dan hasil laporan investigasi, ataupun berkas penyelidikan dan penyidikan Pro Justisia, maka secara hukum tidak lepas dari wewenang dan tanggungjawab hukum Menkes dan Kemenkes serta otoritas RS,” tuturnya.

Selanjutnya Joni mengatakan apapun hasil investigasi maupun penyelidikan maka penting dikawal agar tidak lepas dari tanggungjawab hukum Menkes, Kemenkes dan RS. Termasuk apa dan mengapa terjadi pembiaran.

“Rasanya tidak berfaedah hanya menuding dan tunjuk hidung secara prejudice kepada satu pihak, apakah Kepala Prodi PPDS, Dekan, atau penanggungjawab PPDS. Dalam hal ini juga termasuk di dalamnya tanggungjawab hukum RS di mana terjadinya perbuatan ataupun locus delictie,” ujarnya.

Diaz Abidin