blank
Daniel Frits Maurits Tangkilisan. dengan tangan terborgol saat akan meninggalkan ruang sidang

JEPARA (SUARABARU.ID) – Law and Social Justice (LSJ) merupakan sebuah lembaga studi yang berada di bawah naungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Sampai saat LSJ bergerak secara progresif dalam mengkaji isu-isu hukum dan keadilan sosial.

Tujuan LSJ FH UGM adalah menemukan definisi “keadilan sosial” sebagai suatu norma yang hidup di masyarakat, dalam dua pengertian, yakni keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat, serta; realitas yang tercermin dari campur tangan negara maupun penegak hukum sebagai tonggak dalam mewujudkannya.

LSJ FH UGM beranggotakan akademisi hukum dari berbagai bidang keahlian seperti: hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum lingkungan, hukum internasional, hukum adat, hukum agraria, dan hukum perdata. Selain akademisi, pula diperkuat oleh peneliti, khususnya associate research fellow (ARF), yang berasal dari mahasiswa hukum lintas disiplin, termasuk mahasiswa  pascasarjana.

Seluruh anggota LSJ FH UGM memiliki kesamaan dalam hal penggunaan perspektif hak asasi manusia (HAM) untuk memberikan pendapat akademisnya terhadap berbagai permasalahan hukum. Dalam merumuskan dan mencapai tujuannya terkait keadilan sosial, LSJ FH UGM juga secara aktif memperhatikan dan menyuarakan pemenuhan HAM dalam isu-isu spesifik, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan akademis.

Karena itu  LSJ FH UGM merasa memiliki kepentingan, bahkan berkewajiban, untuk menyerahkan amicus curiae atas perkara NO. 14/PID.SUS/2024/PN JPA kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa

Penyusunan amicus curiae ini diarahkan untuk menjelaskan beberapa perspektif terhadap permasalahan dalam kasus yang disidangkan mulai   argumen-argumen utama yang menurut pandangan LSJ FH UGM selaku amici sebagai alasan pokok bagi hakim untuk tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menguraikan peran pentingnya Majelis Hakim untuk mengeluarkan putusan yang dapat menjadi benteng pelindung bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan akademis di Indonesia; serta memberikan pedoman-anjuran bagi Majelis Hakim dalam menggunakan doktrin dan aturan dari sistem HAM internasional sebagai rujukan pertimbangan dalam memutus kasus tersebut.

LSJ FH UGM dalam amicus curiae menjelaskan kronologi kasus yang bermula, pada tanggal 12 November 2022 Daniel mengunggah video berdurasi 6 menit 3 detik di akun Facebook miliknya pribadi. Video memperlihatkan kondisi pesisir Karimunjawa yang terkena dampak limbah dari tambak udang di sekitar. Video tersebut dikomentari oleh beberapa orang, yang kemudian dibalas oleh Daniel. Salah satu balasannya berbunyi: “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kayak ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan.”

Komentar tersebut dilaporkan oleh Ridwan, salah satu warga Karimunjawa, ke Polres Jepara pada tanggal 8 Februari 2023. Proses penyelidikan berlanjut sampai Daniel ditahan pada tanggal 7 Desember 2023; – Pada tanggal 23 Januari 2024, berkas perkara Daniel dinyatakan lengkap dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Jepara;

Sidang pertama di Pengadilan Negeri Jepara dilakukan pada tanggal 1 Februari 2024. dakwaan terhadap Daniel yakni melanggar pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau pasal 45A ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pada tanggal 19 Maret 2024, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan berupa pidana penjara selama 10 bulan dan denda sebesar 5 juta rupiah.

Pendapat Hukum

Dalam pendapat hukumnya, LSJ FH UGM menjelaskan, perkembangan hukum lingkungan modern tidak bisa dilepaskan dari aspek agensi para pembela lingkungan, sebab sentralnya peranan mereka dalam advokasi

Namun perjuangan terhadap kelestarian lingkungan hidup telah membuatnya rentan untuk menjadi target serangan dari kelompok-kelompok yang kepentingannya terganggu, termasuk menggunakan mekanisme hukum yang dikenal dengan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).

Pring dan Canan mengungkapan tiga karakter dasar perkara dapat dikategorikan sebagai SLAPP. Pertama, SLAPP merupakan upaya balas dendam serta pembungkaman melalui mekanisme hukum, termasuk pengadilan.

Kedua, SLAPP biasanya digunakan bukan sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan pokok yang menjadi sumber konflik namun merupakan permainan baru (kamuflase) melalui pengadilan karena pengadilan cenderung fokus pada batasan legal-formal dari kasus yang dihadapkan padanya.

Ketiga, SLAPP merupakan taktik untuk mengeringkan sumber daya, energi, komitmen dan kohesi sosial dalam melakukan advokasi atas permasalahan pokok. Sumber daya dan energi yang tadinya digalang untuk mendukung advokasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat akan digunakan untuk merespon perkara SLAPP sehingga cepat atau lambat sumber daya dan energi tersebut akan habis dan advokasinya pun akan menjadi layu.

Dalam pandangan hukumnya  LSJ FH UGM,  penyerangan terhadap pembela lingkungan menggunakan mekanisme hukum memiliki tiga motivasi, yaitu: (1) conflict transformation (pengalihan konflik), di mana SLAPP bertujuan untuk mengarahkan konflik lingkungan yang bernuansa publik menjadi perkara yang bernuansa pribadi; (2) forum transformation (pengalihan forum), dimana SLAPP memiliki motivasi untuk mengalihkan forum publik yang digunakan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ke dalam forum pengadilan (yudisial) yang bersifat legal-formal; dan (3) issue transformation (pengalihan isu), dimana SLAPP didesain untuk mengalihkan isu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi permasalahan tindak pidana yang menargetkan figur-figur penting dalam advokasi.

Dalam konteks negara berkembang, Wardana menambahkan motivasi SLAPP satu lagi yang ia sebut sebagai identity transformation (transformasi identitas), di mana melalui SLAPP pembela lingkungan dilabelkan sebagai kriminal, komunis, teroris, antipembangunan, atau sebutan yang bernuansa negatif lainnya dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari dukungan publik lebih luas.

Maraknya penyerangan terhadap pembela lingkungan menjadi pertimbangan penting untuk diadopsinya Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dengan tegas menyatakan bahwa orang yang berjuang untuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata.

Apabila dibandingkan dengan batasan SLAPP yang disebutkan oleh Pring dan Canan, pengaturan Anti-SLAPP dalam Pasal 66 UUPPLH ini sebenarnya telah bersifat ‘progresif’ karena lingkupnya tidak saja tuntutan perdata saja tapi juga termasuk penggunaan mekanisme pidana bagi setiap orang yang sedang berjuang membela lingkungan.

Pada bulan Oktober 2022, Kejaksaan Agung memberlakukan Peraturan Jaksa Agung No. 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Juklak tersebut menetapkan bahwa ‘setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata’.

Untuk melindunginya, penuntut umum dalam mempelajari dan meneliti hasil penyidikan memastikan kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, terutama terkait dengan (a) hubungan kausalitas antara laporan dan pengaduan tindak pidana dengan perbuatan tersangka dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; (b) kualifikasi tersangka, antara lain sebagai aktivis lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup, korban yang terkena dampak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, jurnalis, dan/atau masyarakat adat; (c) motif tersangka; (d) ada tidaknya sifat (e) ada tidaknya alasan pembenar dan pemaaf.

Berdasarkan penelitian investigasi, jika jaksa penuntut umum percaya bahwa tindakan tersangka untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah sah dan dengan itikad baik, tersangka tidak dapat dituntut secara pidana.

Selanjutnya, Mahkamah Agung (MA) juga telah menetapkan peraturan baru, yakni Perma No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup yang menggantikan SK KMA No. 36 Tahun 2013. Perma baru ini menjabarkan beberapa hal penting yang belum dijelaskan dalam pedoman sebelumnya, termasuk mengenai SLAPP.

Ruang lingkup tindakan dalam mengupayakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilindungi oleh ketentuan anti SLAPP adalah: (1) memberikan saran atau penolakan terhadap kebijakan dan proyek dalam hal lingkungan hidup; (2) mengajukan keluhan, pengaduan, dan pelaporan pelanggaran hukum lingkungan hidup; (3) memberikan pendapat, saksi, dan ahli di depan pengadilan; (4) menyampaikan pendapat di ruang publik, pers, media sosial, demonstrasi, dan forum-forum lainnya; dan (4) berkomunikasi dengan negara atau lembaga pemerintah terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Selain itu, peraturan ini juga memberikan kriteria bagi hakim untuk menilai apakah suatu tuntutan pidana atau gugatan perdata merupakan SLAPP; jika ya, mereka dimandatkan untuk mengambil keputusan sementara untuk menghentikannya dengan segera. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk menyatakan bahwa aparat penegak hukum dan pengadilan tidak memiliki aturan, pedoman dan pengetahuan dalam menangani perkara yang terindikasi SLAPP.

Kriminalisasi Daniel merupakan bentuk SLAPP perlu menduduknya tidak semata-mata sebagai perkara pidana biasa. Namun lebih dari itu, perkara ini harus dilihat sebagai sebuah bentuk SLAPP karena terdakwa sedang berjuang untuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang terancam oleh adanya pencemaran yang disebabkan oleh limbah tambak udang.

Perkara ini memenuhi tiga proses terjadinya SLAPP, yakni: tahap pertama, masyarakat mengambil posisi yang berseberangan dan mengungkapkan ketidaksetujuannya atas sebuah kegiatan dan/atau usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan; tahap kedua, pelaku kegiatan dan/atau usaha dalam hal ini perusahaan menilai bahwa penolakan masyarakat bertentangan dengan kepentingan dan tujuan perusahaan; dan tahap ketiga, penggunaan mekanisme hukum baik pidana maupun perdata dalam membungkam advokasi masyarakat. –

Menurut LSJ FH UGM,  kasus yang dihadapkan dalam persidangan perkara NO. 14/PID.SUS/2024/PN JPA atas nama Daniel Fritz Maurits Tangkilisan di Pengadilan Jepara, merupakan kasus yang terkait dengan aktivitasnya sebagai pembela lingkungan.

Karena itu pernyataannya sebagai kritik, merupakan kritik yang legitimate, alias absah secara hukum (legitimate expression). Penggunaan dakwaan pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016, bukan saja sama sekali tak relevan, melainkan pula bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas nama hukum (legalised violation of human rights).

Justru sebaliknya, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, merupakan pejuang lingkungan hidup yang secara hukum wajib dilindungi sebagaimana perintah Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Karena itu LSJ FH UGM menyarankan agar majelis hakim tidak membawa ke arah peradilan sesat, yang sekadar formalisme penerapan aturan tanpa memahami perkembangan doktrin hukum, kemajuan sistem hukum Indonesia yang memberikan perlindungan hukum bagi pembela lingkungan, serta memperhatikan konteks hukum serta pula peristiwa hukum yang sedang terjadi dalam kasus a quo.

Menurut LSJ FH UGM,  Hakim berkewajiban menjaga nilai keadilan sosial pula keadilan ekologis secara berseiring, sehingga hukum akan mendapatkan sisi kebermaknaan (social significance of law) di tengah peradaban kemanusiaan.

Hadepe