blank
Perhimpunan Jaga Pemilu merilis sejumlah temuan pelanggaran yang terjadi selama penyelenggaraan pemilu 2024, Selasa (26/3/2024). Foto: istimewa
JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pascapenetapan KPU beberapa waktu lalu, perhimpunan Jaga Pemilu merilis sejumlah pelanggaran saat penyelenggaraan Pemilu 2024, baik pada pilpres dan pileg.
Sekretaris Komite Eksekutif Gerakan Jaga Pemilu, Luky Djani, mengatakan, dari berbagai temuan tersebut, Jaga Pemilu menyimpulkan bahwa Pemilu 2024 telah menjadi artifisial, karena penyelenggaraan pemilu diatur sedemikian rupa melalui skenario pemenangan yang memanipulasi mekanisme prosedural dan peraturan kepemiluan.
“Analisis terhadap laporan dan temuan oleh jaga Pemilu memperlihatkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 terkontaminasi oleh praktik-praktik pelanggaran dan kecurangan pemilu,” kata Luky dalam keterangan pers pertama Jaga Pemilu pascapenetapan KPU, Selasa (26/3/2024).
Pada hari H pemilihan suara, Jaga Pemilu bekerja sama dengan jejaring organisasi masyarakat sipil dan warga memantau pemungutan dan perhitungan suara pada 14 Februari 2024, melibatkan 1.984 relawan Penjaga Pemilu yang tersebar di 29 provinsi (241 Kabupaten/Kota; 817 Kecamatan; 1.217 Desa/Kelurahan).
Sepanjang periode 29 Agustus 2023 sampai 19 Maret 2024, dari total 914 laporan yang diterima terdapat 658 laporan terverifikasi, masing-masing 215 laporan berasal dari masyarakat dan 443 laporan dugaan pelanggaran/kecurangan dari hasil penelusuran sosial media dan media online.
Dari total laporan terverifikasi, 210 laporan yang memenuhi kriteria pelaporan sesuai dengan ketentuan Bawaslu telah disampaikan kepada Bawaslu.
“Dari 210 yang dilaporkan ke Bawaslu, hanya satu yang ditindaklanjuti,” kata Rusdi Marpaung, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu.
Dari 658 kasus yang dianalisis, terdapat empat kategori utama pelanggaran yang berdampak langsung kepada integritas pemilu. Keempat tipologi malpraktek pemilu tersebut adalah: praktik politik pork-barrel, jual-beli suara, manipulasi administratif dan monopoli sumber daya publik dan politisasi aparatur.
Modus vote-buying pada pemilu 2024 didominasi oleh praktik pembagian uang secara langsung selama kampanye arak-arakan, rapat dengar pendapat umum.
Pembagian uang dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup melalui broker ataupun diberikan saat acara berlangsung.
“Alibi yang diutarakan selalu seragam, sebagai ongkos politik atau pun biaya partisipasi dalam kegiatan kampanye,” katanya.
Dari pengamatan Jaga Pemilu, politikus dan timses memahami batasan nominal yang dapat diberikan sesuai dengan peraturan KPU, maka pemberian barang kepada perseorangan pemilih jika dijumlahkan nominalnya di bawah ketentuan PKPU tersebut sehingga terhindar dari jeratan hukum.
“Ini mengindikasikan terjadinya normalisasi pelanggaran dan kecurangan pemilu di Indonesia, atau situasi new normal, malpraktik pemilu dianggap sebagai hal yang biasa dan terjadi pembiaran dalam penegakan hukum,” katanya.
Dari teorinya, artifisial demokrasi dapat dilihat dari beragamnya pelanggaran dan kecurangan dalam setiap tahapan pemilu, dikombinasikan dengan renggangnya representasi politik, dimana hubungan antara pemilih dan politikus dipandang berlangsung secara transaksional serta manipulatif.
Berdasarkan temuan Jaga Pemilu, pelaku pelanggaran terbesar selama pemilu 2024 adalah penyelenggara pemilu. Dari penelusuran terungkap, lebih dari setengah pelaku yang diduga melakukan pelanggaran adalah penyelenggara pemilu yaitu sebanyak 55%.
Peringkat kedua pelaku pelanggaran dan kecurangan adalah peserta pemilu calon anggota legislatif sebanyak 16%, dengan modus umum berupa upaya untuk beli suara (vote buying). Aktor selanjutnya adalah aparatur Penyelenggara Negara (10%) serta Kepala Daerah (8%).
Mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu, Abhan, mengungkapkan, pemerintah harus melakukan evaluasi terkait temuan Jaga Pemilu tentang pelaku pelanggaran terbesar yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
“Angka 55 persen itu termasuk tinggi. Kita sudah lihat ada beberapa kasus di mana penyelenggara pemilu dijerat kasus pidana seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga beberapa daerah lainnya. Ini menunjukan suatu fakta bahwa ada masalah terkait penyelenggara pemilu, apakah ini terjadi saat mulai proses rekrutmen atau lainya. Ini tentu harus menjadi bahan evaluasi,” jelas Abhan.
Hery Priyono