Selain tercatat sebagai Indikasi Geografis, Garam Amed juga mendapatkan sertifikasi dari Uni Eropa CSQA pada 2022 lalu. Hal ini membuat nilai jual Garam Amed semakin tinggi.
“Kami juga menjual berbagai bentuk dan kemasan disini pak,” ujar Nyoman Kara, salah satu pegawai disana, kepada Kakanwil.
Menurut cerita Nyoman, pengetahuan soal Indikasi Geografis ini didapatkan pada tahun 2011, saat itu ada orang Prancis dan mahasiswa Indonesia yang datang untuk berdiskusi soal garam.
Sampai akhirnya warga yang terdiri dari kepala desa, petani, dan kelompok garam diundang ke Prancis untuk studi banding dan melihat produksi garam rakyat di sana.
“Di Nantes Perancis, kami belajar mengenai garam pak, alhasil kami bisa sampai di titik ini. Nama Amed sendiri diambil dari lokasi tempat diproduksinya garam ini di pesisir Amed,” sambungnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Anggiat Ferdinan berharap melalui kegiatan studi tiru kali ini dapat membawa manfaat dan meningkatkan ilmu tentang Indikasi Geografis.
“Semoga ini membuka kesempatan dan wawasan kita untuk belajar lebih jauh lagi terkait Indikasi Geografis,” ungkap Anggiat.
Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Pelayanan Hukum Agustinus Yosi, Kepala Sub Bagian Kekayaan Intelektual Tri Junianto, dan Pelaksana pada Sub Bidang KI Kantor Wilayah Jawa Tengah dan Bali.
Ning S