blank

Oleh : Hadi Priyanto

“Sosrokartono adalah sahabat saya, dan oleh karena beliau adalah Putra Indonesia yang Besar”.

Penggalan surat ini ditulis oleh oleh Ir. Soekarno,  Presiden Republik Indonesia, 1 November 1954. Surat ini ditujukan  kepada Keluarga Monosoeko Daroesalam saat para pengikut  RMP Sosrokartono di Bandung ini memperingati  1.000 hari wafatnya kakak kandung, dan sekaligus mentor RA Kartini ini. Surat ini ditulis tangan oleh Presiden Soekarno dengan menggunakan kop Presiden Republik Indonesia.

Tentu ini menjadi bukti betapa Drs  Raden Mas Panji Sosrokartono memiliki peran besar dalam  perjuangan bangsa Indonesia dalam  meraih kemerdekaannya. Juga  mengambarkan kedekatan  kedua tokoh ini dan apa yang telah dilakukan.

Pengakuan Ir  Soekarno terhadap ketokohan Drs  Raden Mas Panji Sosrokartono juga disampaikan   dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams. Pada buku biografi ini,  Ir Soekarno menyebut sahabatnya ini sebagai seorang tokoh kebatinan yang sangat di hormati di Bandung.

Soekarno juga menceriterakan kekuatan spiritual  Raden Mas Panji Sosrokartono saat ia sedang menghadapi keputusan pengadilan. Pada malam sebelum dibacakan vonis oleh hakim enam  orang pembela Bung Karno telah  menemui   Raden Mas Panji Sosrokartono yang diketahui oleh mereka sebagai sahabat Bung Karno dan sekaligus   guru spiritualnya.

Harapannya pada persidangan esuk harinya, Ir Soekarno dinyatakan bebas atau mendapatkan hukuman ringan. Mereka yang menemui Raden Mas Panji Sosrokartono adalah Mr. Sartono, Mr. Sastro Moelyono, Mr. Lukman Wiriadinata, Mr. R. Idih Prawiradiputera (Paguyuban Pasundan), Mr.Iskaq Cokrohadisurya ( PNI ) dan  Mr. Suyudi.

Kisah ini dituturkan kembali oleh Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat  karya Cindy Adams, Ir Soekarno menuturkan kisah ini.

“Pada malam menjelang putusan hakim itu dibacakan, enam orang kawan pergi ke rumah Dokter  Sosrokartono, seorang tokoh kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Sebagaimana kemudian diceriterakan kepadaku, keenam orang itu ingin menenangkan pikiran dan meski hari sudah lewat tengah malam. Mereka datang juga kerumah Dokter  Sosrokartono, tanpa memberi tahu terlebih dahulu.

Seorang pembantu yang membukakan pintu memberi tahu mereka, Pak Dokter sudah menunggu-nunggu  dan  mengiringkan mereka ke ruang dalam, di mana enam buah kursi telah disusun dalam posisi setengah melingkar.

Kawan-kawanku itu tentu saja heran. Tanpa lebih dulu bertanya tentang maksud kedatangan mereka, tokoh kebatinan itu hanya mengucap   tiga buah kalimat. Soekarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja tersungkur, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi,”  

Benar, esok harinya Bung Karno dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh hakim Siegenbeek van Heukelom. Ia dihukum paling berat. Sedangkan ke tiga teman Bung Karno diganjar hukuman masing-masing dua tahun

Sosrokartono  juga  merupakan salah salah satu  dari empat  orang yang dikunjungi Soekarno   menjelang  kemerdekaan  bangsa  Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Empat ulama besar ini adalah Syeikh Musa dari Sukanegara, Cianjur Selatan, KH Abdul Mu’thi  dari Madiun, Sang Alif atau Raden Mas Pandji Sosrokartono dari Bandung dan  KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka   dikenal sebagai ulama tasawuf yang mukasyafah atau terbuka mata batinnya.

Dalam pertemuan dengan para ulama tasawuf  ini Ir Soekarno mendapatkan  petunjuk dan nasehat   bahwa akan ada berkat dan rahmat Tuhan  yang akan turun di Indonesia, pada hari Jum’at Legi 1364 Hijrah. Bila tidak terjadi pada hari itu maka harus menunggu tiga abad lagi. Waktu itu sama persis dengan pembacaan teks proklamasi yang dilakukan oleh Ir Soekarno – Hatta.

Tentang tentang pemilihan waktu  Proklamasi ini diungkapkan secara tidak langsung  oleh Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam buku ini Soekarno menuturkan kisahnya saat dipaksa  oleh para pemuda yang menculiknya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 15 Agustus 1945. Sebab ia memilih tanggal 17 Agustus 1945. Dalam kisah ini Sukarno menuturkan: “Yang paling penting dalam suatu peperangan atau revolusi   adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini  untuk dijalankan tanggal 17,”

Namun oleh Soekarni kemudian ditanyakan, mengapa ia  memilih  tanggal 17 Agustus ? Tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16 Agustus 1945 ?.   Pertanyaan Soekarni  tersebut dijawab oleh Soekarno seperti tertulis dalam Buku Buang Karno Penyambung Lidah Rakyat :

“Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku, bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas angka yang suci.

Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat yang suci. Dan Hari Jumat tanggal 17. Al Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembayang 17 rakaat sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20 ? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.

Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berfikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti sesudah itu,”  

Sosrokartono  juga aktif berdiskusi dengan  Ir Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, Dr Samsi, Mr Soenardjo, Soewandi, Mr Oesman Sastroamijoyo SH, dr Cipto Mangoenkoesoemo dan Iskandar Kertomenggolo  untuk membicarakan masa depan bangsanya. Bahkan  Drs Sosrokartono juga disebut oleh Ch.O van der Plas , Advieseour voor Inlandsche Zaken  dalam laporannya ke Pemerintah Belanda sebagai Voorganger der PNI Group atau pelopor golongan PNI.

Menurut Maulwi Sailan,  Soekarno memiliki dua guru  yang memberikan kekuatan mental spriritual hingga ia sangat kuat. Dua guru tersebut adalah Raden Mas Panji Sosrokartono dan Abdurrahman  dari Petojo Selatan, Jakarta

Dari rangkaian peristiwa di itu  terlihat betapa nampak peran besar Drs RMP  Sosrokartono dalam  pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Walau pun ia  tidak ikut mengangkat senjata dan bergabung dengan para pejuang, namun dari sikap dan perbuatannya nampak benar, bahwa beliau  ikut memberi warna pada ruang-ruang diskusi para pemuda pergerakan dan bahkan mempersembahkan  kekuatan spiritualnya untuk bangsanya.

Penulis adalah Penulis buku Drs RMP Sosrokartono, Biografi dan Ajaran-ajarannya, buku Sosrokartono de Javasche Prins dan buku Raden Mas Panji Sosrokartono Putra Indonesia yang Besar

.