blank
Lionel Messi. Foto: fifa.com

blankOleh: Amir Machmud NS

// dia ada bukan untuk ditakuti/ dia menginspirasi dan memimpin orkestrasi/ dia ada untuk menjadi sang pembeda/ dia ada untuk dirasakan adanya/ diikuti titahnya/ disegani kepemimpinannya…//
(Sajak “Leo Messi Sang Kapten”, 2022)

RASANYA tak berlebihan, dalam podcast “Ngopi, Ngobrolin Piala Dunia” LPP RRI Semarang selepas semifinal Piala Dunia 2022, saya melukiskan tim nasional Argentina adalah “seorang Lionel Messi yang dibantu 10 pemain Argentina”.

Ilustrasi ini sama dengan peran Diego Maradona di Piala Dunia 1986, “Tim Argentina adalah seorang Maradona dibantu 10 pemain Argentina”. Dan, tim itulah yang secara fenomenal meraih trofi Coppa del Mundo.

Legenda Argentina Jorge Burruchaga menyampaikan narasi serupa, betapa Leo Messi punya beban yang sama dengan Maradona. Dia menuturkan, sebagaimana dikutip cnnindonesia.com dari Buenos Aires Times, pelatih Caralos Bilardo ketika itu menggambarkan tim nasional adalah Maradona dan 10 pemain lainnya.

Ada suatu masa, potensi kepemimpinan Messi sebagai kapten selalu diperbandingkan dengan Maradona yang memang dominan dan menonjol. Bahkan saat El Pibe de Oro mengarsiteki Tim Tango di Piala Dunia 2010, dia tidak menunjuk juniornya itu sebagai pemimpin. Ban kapten diserahkan kepada Javier Mascherano.

Pelatih berganti, dan Messi sebagai ikon tim ditunjuk sebagai kapten. Ketika Albiceleste gagal dalam sejumlah turnamen mayor, Maradona terang-terangan mengkritik La Pulga bukan sosok pemimpin dalam tim, “Bagaimana mungkin pemain yang 20 kali keluar masuk toilet menjelang pertandingan bisa menjadi pemimpin?”

Kata Maradona kepada Fox Sports, “Kita seharusnya tidak mendewakan Leo lagi. Dia adalah Messi ketika bermain untuk Barcelona. Messi adalah Messi ketika dia mengenakan seragam itu, dan dia adalah Messi yang berbeda bersama Argentina…”

Andai “Sang Dewa” masih ada dan menyaksikan bagaimana aksi-aksi Messi di Qatar 2022, dia pasti menyesali penilaian itu. Kini Messi bermetamorfosis menjadi kapten istimewa!

Lihatlah ekspresi, gestur, statemen, sikap mengayomi, dan keberadaannya sebagai “faktor pembeda”. Permainannya bertransformasi, dari bintang yang hanya mengandalkan teknis individu prima, kini terlihat “melayani” dengan umpan-umpan memanjakan. Setiap pergerakan dan positioning-nya memudahkan para pemain lain menemukan peluang. Tentu selain produktivitas gol yang tetap terjaga.

Transformasi ini tentu terkait dengan usia yang tak lagi muda, 35 tahun, dan Messi tahu bagaimana mengelola kebugaran dengan ukuran mobilitas pergerakan.

Empat tahun silam, dalam Piala Dunia Rusia 2018, peran itu sudah dia mainkan, namun ekspresi kepemimpinannya tidak semenonjol sekarang. Aksi-aksi leadership itu dia perlihatkan di Copa America 2021.

Performanya dalam laga semifinal melawan Kroasia adalah pembuktian kualitas “luar-dalam”, sebagai bintang yang fungsional maupun sebagai kapten. Menjelang 8 besar melawan Belanda, dia mengekspresikan pengayoman kepada Lautaro Martinez. Sang striker banyak mendapat sorotan karena kegagalan menuntaskan sejumlah peluang saat menghadapi Australia.

Selepas duel yang menguras tenaga dan psikis melawan Belanda, ketika teman-temannya berselebrasi merayakan kemenangan bersama Lautaro Martinez yang mencetak penalti penentu, Messi justru menghampiri kiper Emiliano Martinez yang telentang di sisi lain lapangan. Dia menghargai peran Emi dalam drama penalti itu, sama seperti ketika kiper Aston Villa itu tampil eksepsional dalam Copa America 2021.

Emi Martinez, bagi Leo Messi adalah simbol perjalanan Argentina dalam empat tahun terakhir. Sikap Messi terhadap kiper jangkung itu memperlihatkan karakter yang berbeda dibandingkan dengan kesan orang tentang Messi yang pendiam, Messi yang introvert, dan Messi “yang lebih suka menunduk” dalam sejumlah momen pertandingan.

Kapten introvert itu berubah menjadi sosok yang terbuka, tengadah, bahkan “berani” mendatangi Louis van Gaal selepas pertandingan untuk memprotes mind game pelatih Belanda itu. Dia juga berselebrasi dengan luap tak biasa. Mendatangi bangku cadangan lawan, membuka kedua telapak tangan di depan telinganya!

Kualitas Pemimpin
Simaklah penggambaran naratif ini, betapa Lionel Messi memang diidolakan oleh masyarakat Argentina, namun Maradona lebih didewakan. La Pulga menjadi representasi “lelaki ideal pengayom keluarga”, dan Maradona adalah “bajingan yang dicintai”.

Apakah gaya tak biasa Messi, yang “memberontak” dalam nuansa pertandingan melawan Belanda, yang ingin disaksikan oleh para pemujanya?

Dengan gaya itukah orang menemukan titik singgung Messi dengan Diego Maradona? Yang bukan hanya unjuk inspirasi, tetapi juga ekspresi agresi? Yang selain menjadi “sang malaikat” juga meletupkan sisi liarnya?

Kapten Argentina itu terus memperlihatkan performa kekuatan kepemimpinan. Tak beralasan lagi menyoroti kekurangan Messi dari sisi ini. Dia pemimpin sejati, dan rakyat Argentina menunggu tuah leadership itu lebih jauh lagi, justru di pengujung karier, memberi trofi Piala Dunia secara paripurna.

Dia akan menjadi “junta” yang sangar sekaligus “penyair” eksotik untuk menghadapi Ayam Jantan Prancis yang juga berwibawa dan sarat seniman tak kalah puitisnya…

Amir Machmud NS; watawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah