Wagub menambahkan, stunting terjadi tidak hanya dipengaruhi faktor kemiskinan. Tetapi juga perilaku hidup bersih masyarakat. Sebesar 25 persen stunting, disumbang dari masyarakat yang status sosialnya menengah ke atas.

“Tadi disampaikan (BKKBN) 25 persen stunting ini penyumbangnya masyarakat menengah ke atas. Artinya di daerah-daerah yang notabenenya mungkin ekonominya sudah mapan, akan tetapi kebiasaan kesehatan, kebiasaan hidup sehat ini masih belum sesuai,” ungkapnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih memiliki waktu kurang lebih dua tahun hingga 2024 nanti, untuk menurunkan prevalensi stunting sebesar 14 persen, sesuai target pemerintah pusat.

Taj Yasin meminta agar waktu yang ada dimanfaatkan dengan baik. Anggota TPPS wajib bekerja kelompok, lintas sektoral. Sebab, persoalan stunting tidak bisa diatasi sendiri, per individu, ataupun per lembaga.

Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah Widwiono membeberkan, selama 2019 hingga 2021, Jateng berhasil menurunkan stunting lebih cepat dari pemerintah pusat. Di tahun 2019, angka stunting nasional sama dengan Jawa Tengah, yakni sebesar 27 persen

“Tapi (2021) di Jateng bisa turun menjadi 20,9 persen, tapi angka nasional masih di angka 24 persen . Bahkan saya selalu banding-bandingkan dengan 2 provinsi besar, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat. Ternyata  Jateng percepatan penurunan stuntingnya lebih progresif dari dua provinsi lain,” urainya

Widwiono pun menyampaikan terima kasih atas kerja keras TPPS Jawa Tengah yang berhasil menurunkan angka stunting secara signifikan. Pihaknya optimis, dengan komitmen Jateng didukung semua stakeholder, target penurunannya di 2024 akan tercapai dengan baik.

Hery Priyono