JEPARA (SUARABARU.ID) – Ada yang istimewa dan spesial dalam rangkaian agenda sastra yang digelar Yayasan Gaperto Jepara, pada Sabtu, 29 Oktober 2022 yang lalu. Semakin tahun ajang peluncuran dan penampilan puisi menjadi makin berisi. Pasalnya, selain Lomba Baca Puisi Kreatif (LBPK) ke XI tingkat Nasional, peluncuran kitab puisi Membaca Jepara #8, karya penulis Jepara, dan kitab Puisi Pesisir karya penyair Jawa-Madura, juga ada satu mata acara lagi yakni Anugerah Sastra.
Menurut pendiri Yayasan Gaperto sekaligus inisiator dan koordinator kitab puisi Membaca Jepara dan Puisi Pesisir, Didid Endro S., dengan adanya tambahan mata acara Anugerah Sastra tersebut dimaksudkan untuk memberikan penghormatan serta apresiasi terhadap para tokoh sastra atau figur yang berjuang serta berkarya dalam dunia sastra. Selain itu juga memacu semangat para penulis yang ada di Jepara sehingga dari generasi ke generasi berikutnya terlahir penulis-penulis hebat yang mampu mempertahankan geliat sastra di Jepara.
“Sudah ada para sastrawan yang membuka jalan dan berjuang pada kesusastraan di sini. Saya yakin bahwa di Jepara masih banyak dan selalu lahir penulis-penulis yang memiliki dedikasi tinggi terhadap perkembangan kesusasteraan di Jepara”, ungkapnya. Dari keyakinan itulah, ia bersama Gaperto berinisiatif memberikan penghargaan atas dedikasi para penulis.
“Jangan dilihat berapa tali asih yang kami berikan pada penerima penghargaan. Tetapi dengan penganugerahan ini, kami menaruh harapan besar terhadap kemajuan seni sastra ataupun kesenian lainnya yang ada di Jepara”, tegasnya.
Selain itu, lanjut Didid, program LBPK yang sudah 11 tahun digelar tersebut bukanlah sebuah euforia sastra belaka, melainkan sebuah program sinergi antara penulis puisi, pembacaan puisi, serta penghargaan pada dedikasi penulisnya. Kemudian, Didid juga melibatkan semua bidang kesenian untuk masuk pada wilayah kesusasteraan. Yakni keterlibatan seni rupa dalam desain cover buku, serta seni musik dalam berkolaborasi pertunjukan puisinya.
“Sebenarnya, setiap penerbitan kami berharap ada lukisan dari pelukis Jepara sebagai covernya. Sehingga satu buku yang kami terbitkan tidak penulisnya saja yang terangkat, tetapi juga pelukis”, harapnya.
Meski Anugerah Sastra pertama tahun ini baru yang pertama kali dilakukan, Didid berharap penganugerahan ini akan menjadi tradisi yang terus menerus dilakukan dan diwariskan. Sesuai rencana, penghargaan Anugerah Sastra tersebut akan tetap dibarengkan dengan pelaksanaan LBPK dan peluncuran buku puisi Membaca Jepara
Untuk pertama kalinya, anugerah sastra ini diberikan kepada dua orang penulis Jepara. Pertama adalah Lukman Witjaksana (71) dengan nama pena Chris Papajaya dan kedua kepada Lelly Metawati Wijaya dengan nama pena Nurani Metawati.
Seorang Chris Papajaya adalah seorang penulis puisi yang produktif. Sejak edisi Membaca Jepara #1 sampai #8, dia tidak pernah absen mengirimkan puisinya. Uniknya, puisi tersebut dikirim dalam bentuk tulisan tangan yang rapi. Salah satu puisinya dapat kita baca di bawah ini:
TROTOAR KU
Membentang panjang
berkelok naik turun
dari Tahunan hingga Jepara
Trotoar ku … merana
fungsinya diubah paksa
oleh orang-orang tanpa simpati
tak ada lagi yang menyusuri
kenyamanan telah mati
Trotoar ku … telah punah
menjelma garasi dan warung kopi
jangan marah jangan heran
bila pejalan turun menyusuri bahu jaln
keselamatan yang dipertaruhkan
Jepara, 220922
Sementara itu, anugerah kepada Metawati diberikan sebagai apresiasi atas dedikasinya dalam menulis puisi serta komitmennya untuk dunia sastra Jepara. Salah satu puisi lamanya, yang malam itu dimusikalisasi oleh penyanyi Jepara Eswal, adalah sebagai berikut:
SAMA-SAMA KITA SAKSIKAN HUJAN
(Untuk Keluarga di Pakistan)
di sudut ruang tamu
sama-sama kita saksikan hujan
hujankah hati kita?
(musim indah saat kita bersua, indah saat kita berpisah)
lambaian tangan siapa yang membekas di langit kelabu?
biar ujung hujan menombaki kalbu
dan,
langit siapa yang menggema dalam ruang jiwa tak bertepi?
pasti kuingat, kurindukan masa ini
sekalipun hujan berhenti ribuan kali
Anugerah sastra kepada Chris Papajaya dan Nurani Metawati ini juga menjadi simbol bahwa usia dan perjuangan hidup keduanya tidak mematahkan semangat untuk tetap berkarya dan setidaknya membuka ruang abstraksi kesusastraan mereka yang dinamis.
“Kami hanya dapat berbagi apresiasi. Mungkin bentuk konkret anugerah sastra dari kami tidak ada bandingnya dengan keseriusan berjihad mereka. Dan mereka tetap masih berjuang, sedangkan kita masih mempunyai kemalasan bahkan rasa malu terhadap dedikasi mereka untuk tetap tidak diam.” kata Didid. “Semoga Anugerah Sastra ini menjadi peristiwa nilai, peristiwa kemesraan atas kasih sayang Tuhan dan kami akan berusaha mengistiqomahkannya.” Lanjutnya.
Sebuah anugerah sastra bukanlah barometer dari selera kaum atau kalangan tertentu. Bagi Yayasan Gaperto Jepara, anugerah ini menjadi sebuah keteladanan dan dukungan untuk terus berjihad dan bersikap dalam kemajuan dunia sastra. Semoga ini menjadi langkah awal untuk penganugerahan di tahun-tahun berikutnya. Menjadi tradisi yang hidup dan menghidupkan wacana sastra di Jepara khususnya, dan untuk Indonesia serta dunia pada umunya.
Hadepe