blank
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej memberikan kuliah umum di Universitas Negeri Semarang. Foto: Dok/Humas Kumham

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej memberikan kuliah umum di Universitas Negeri Semarang, yang berlangsung di aula Fakultas Hukum setempat.

Pada kesempatan itu dia menjelaskan urgensi dan latar belakang lahirnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sudah masuk tahap akhir pembahasan.

Prof Eddy sapaan akrabnya memberikan gambaran umum mengenai konsep dasar hukum pidana. “Berbicara hukum pidana, berarti kita berbicara mengenai draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” ujarnya, Sabtu (6/8/2022).

“Kalau kita bicara hukum pidana berarti kita bicara tentang asas-asas hukum. Kalau kita bicara mengenai asas-asas hukum pidana itu, biasanya kita bicara mengenai apa yang terdapat pada buku 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbicara mengenai ketentuan-ketentuan umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang di dalam RKUHP dia juga masuk dalam buku 1,” terangnya.

“Dan ketentuan hukum umum pidana yang ada di dalam RKUHP tidak hanya memperbaharui yang ada di dalam buku 1 KUHP sekarang yang berlaku, tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan ilmu hukum pidana,” jelas Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada itu.

Prof Eddy mengatakan bahwa dunia Internasional sejak tahun 1990, sejak 30 tahun yang lalu mengalami perubahan paradigma dalam hukum pidana.

“Dari paradigma hukum pidana yang berdasarkan keadilan retributif, di mana hukum pidana digunakan sebagai Lex Talionis atau hukum balas dendam, sudah berubah ke dalam paradigma hukum pidana modern yang bersifat universal, yang tidak lagi berbicara mengenai keadilan retributif, tetapi berbicara mengenai keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif,” paparnya.

Menurutnya, keadilan korektif adalah punya pelaku kejahatan. Artinya ada sanksi yang tegas, kalau dia melanggar sanksi itu akan dijatuhi pidana.

Namun ada juga keadilan restoratif. Kalau keadilan kolektif itu punya pelaku, maka keadilan restoratif itu miliknya korban. Artinya bahwa di dalam konsep keadilan restoratif itu bukan pembalasan tapi pemulihan.

Sedangkan keadilan rehabilitatif adalah milik kedua belah pihak, pelaku dan korban. “Jadi kalau keadilan korektif itu punyanya pelaku, keadilan restoratif itu punyanya korban, maka keadilan rehabilitatif itu punya pelaku dan punya korban,” terangnya.

Sementara empat misi lahirnya RKUHP atau pengembangan hukum pidana Indonesia di masa depan, misi pertama adalah nasionalisme, yang kedua adalah demokratisasi, ketiga dan keempat adalah konsolidasi.

Menurutnya, misi nasionalisme merujuk kepada paham-paham kebangsaan, di mana Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, menjiwai pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sementara itu, demokratisasi bicara tentang keseimbangan yang tidak lepas dari fungsi hukum pidana, dimana hukum pidana memiliki fungsi melindungi dan yang dilindungi itu adalah kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

Sedangkan dekolonisasi merupakan misi untuk merubah KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial yang merujuk dan berorientasi pada suatu negara yang menjajah negara lain. Dimana konsep-konsep mendirikan dan menundukkan masih berlaku.

“Oleh karena itu kita lihat di dalam pidana pokok yang diatur dalam KUHP yang sekarang itu amat sangat terbatas, yaitu mulai dari pidana mati, pidana penjara, pidana pidana denda dan pemberian pidana kurungan,” sambungnya.

Terakhir, Prof Eddy menerangkan tentang misi konsolidasi yang menekankan pada penghimpunan dan penyatuan kembali berbagai macam bentuk kejahatan di luar lingkup KUHP untuk masuk ke dalam RKUHP.

Ning Suparningsih