blank
Foto: dok/ist

Oleh: Dr H M Nafis MA

ALLAHU AKBAR 3X WALILLAHILHAMDU

Kaum Muslimin dan muslimat yang berbahagia.

Di tengah-tengah gema takbir, tahmid dan tasbih, marilah kita bersama-sama dengan penuh konsentrasi dan kekhusyukan memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Karena hanya berkat rahmat, pertolongan, dan petunjuknya kita masih dapat bertahan hidup di tengah berbagai persoalan yang berkembang.

Dengan syukur inilah, kita akan tetap insyaf dan sadar betapa besar, mahal dan bernilai karunia Allah sehingga kita mampu dan mau menangkap sinar-sinar kebenaran Islam dengan pikir dan hati yang jernih, mengamalkannya dengan tekad yang kuat dan mengembangkannya dengan pengabdian yang tulus.

Pada saat yang seperti ini, patutlah kiranya kita mempertimbangkan kembali petunjuk Allah dalam surat Al-Rum 42 yang berisi letak penting melihat segala sesuatu yang telah terjadi.

Melalui proses seperti ini, kita akan melihat dengan jelas aspek-aspek positif maupun negatif dari perbuatan kita. Dalam skup yang paling dekat, kita telah didadar dan dididik melalui pelatihan selama Ramadan guna mengemban kewajiban puasa dan menangkap isyarat dan makna yang terkandung di dalamnya agar kita semua menjadi manusia profesional, tangguh dan memiliki orientasi ke depan (Q.S. alBaqarah: 183).

Dengan puasa, kita terlatih untuk mampu mengendalikan diri dari keserakahan nafsu material (makan dan minum yang berujung pada kepuasan material lahiri) dan kenikmatan nafsu seksual (hubungan suamiistri yang berakhir pada kepuasan batin).

Dengan puasa, kita terdidik untuk berjiwa besar, tabah, sabar dan tidak mudah putus asa menghadapi berbagai problema kehidupan. Dengan puasa, kita terbiasa kuat memegang amanat (kepercayaan dan janji), jujur dan disiplin dalam melaksanakan berbagai tugas.

Dengan kalimat lain, puasa telah mengajak kita untuk senantiasa menjaga kesehatan pikir, rasa dan fisik kita. Dan yang lebih penting lagi, puasa juga telah menanamkan kesadaran dan kepedulian terhadap persoalan dan penyakit sosial; telah menumbuhkan penghayatan yang dalam tentang sejauhmana penderitaan yang harus ditanggung saudara-saudara kita yang miskin.

Keseluruhan nilai-nilai positif tersebut kita sempurnakan dengan pemberian zakat yang tidak hanya memenuhi kewajiban dari Allah, melainkan juga sebagai ekspresi syukur, komitmen kepada keadilan sosial dan solideritas kita terhadap kaum duafa.

Pada sisi lain, zakat juga menumbuhkan kesadaran bahwa harta dalam Islam, disamping individual, memiliki fungsi sosial. Keseluruhan proses dan nilai sebagaimana tersebut menghantarkan kita semua menjadi manusia yang berbobot, kaya amal shaleh dan pahala, dan jauh dari noda dan dosa.

Namun demikian dibalik keberhasilan kita sekarang sebagai manusia yang beruntung, suci putih tanpa dosa, kita dituntut untuk secara cermat memperhitungkan apa yang akan terjadi dan apa yang harus kita lakukan untuk hari esok.

Tuntutan ini tercermin dalam firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah masing-masing individu memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk (membangun) hari esok (yang lebih baik)…” ( Q.S. al-Hasyr: 18).

Dalam konteks puasa, kesadaran akan pentingnya masa depan diisyaratkan oleh Allah di dalam kalimat “la’allakum tattaqun” (agar kamu semua menjadi manusia yang bertaqwa).

Kalimat ini memberi arti bahwa hakekat keberhasilan puasa tidak hanya terukur pada sejauhmana kita menjalani puasa dan amalannya, melainkan juga melalui ujian sejauhmana perbuatan setelah berpuasa.

Dengan kalimat lain, untuk hari esok kita akan diuji oleh Allah apakah kita mampu menorehkan tinta emas di depan altar kehidupan bangsa yang sedang tercabik-cabik ini?

Pada tahap inilah, kita mau tidak mau harus mulai mengadakan persiapan dan perhitungan yang akurat untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Futurology (ilmu yang secara khusus membahas masa depan) kelihatannya memang harus kita tumbuhkan kembali kalau memang kita ingin sukses dan menepis akibat negatif yang muncul, meskipun untuk sementara ini umat Islam masih rendah atensinya terhadap masa depan.

Untuk itulah mari kita lihat kembali tuntunan Allah: “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…” (Q.S. Ali Imran: 112):

Tuntunan Allah sebagaimana tersebut dengan jelas memberikan arah tentang dimensi-dimensi masa depan yang harus kita bangun. Dimensi itu secara sinergik tidak lain adalah bahwa dimanapun dan kapanpun manusia akan terlanda kegagalan, kebangkrutan dan kehina-dinaan, kecuali mereka sanggup menciptakan keseimbangan dan keserasian hidup antara garis vertical (manusia dengan Allah), dan horizontal (antara manusia dengan manusia serta manusia dengan alam semesta).

Keseimbangan dan keserasian inilah akan menjadi dasar menuju masyarakat yang aman dan damai.

Pertama, tata hubungan vertikal kita latih dengan proses dimana tata pikir, hati dan perbuatan kita selalu disinari oleh nuansa, misi dan suara ketuhanan. Intensitas hubungan kita bangun dengan dzikir dan menangkap secara cerdas tanda-tanda kekuasaanNya (Q.S.Ali Imran: 191).

Melalui penyebutan nama-nama baikNya (al-Asma’ al-Husna), kita merasa tergetar dan timbul keinsyafan betapa kecil keberadaan kita dihadapanNya. Dari keinsyafan itu lantas timbul sikap yang kuat bahwa kita tidak akan berbuat segala sesuatu yang melanggar perintahNya.

Sebaliknya, seluruh sepak terjang kita niyati untuk mencari keridloanNya, karena kita sadar bahwa semua perbuatan kita senantiasa dilihat dan berada dalam pantauanNya.

Dari komunikasi dengan Allah yang intensif ini, kita akan memperoleh “self-confidence” (kepercayaan diri yang kokoh) untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan diri, bermasyarakat dan bernegara.

Kepercayaan diri sebagaimana tersebut sangat bermanfaat dalam menghadapi era informasi atau pasca-moderen. Kita telah mendapatkan gambaran yang luas bahwa modernisasi telah menawarkan seribu alternatif di atas mana manusia dapat meraih kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan yang nyaris tak terbayangkan pada era sebelumnya.

Namun demikian, kita tidak dapat lari dari kenyataan bahwa modernisasi telah menghadirkan korban yang tiada terhitung. Perlombaan senjata yang berujung pada kekacauan dan pembunuhan massal manusia yang tak berdosa, pembersihan etnik, kriminalitas berteknologi tinggi dan lain sebagainya.

Satu di antara akibat lain modernisasi yang sangat penting untuk diperhatikan adalah manusia terlanda ketidakpastian (uncertainty). Manusia tidak tahu jalan hidupnya sendiri. Stres, depresi mental dan anxiety merupakan gambaran penyakit kejiwaan yang banyak diidap manusia moderen.

Menghadapi kenyataan itu, penemuan kembali kepercayaan diri yang bersumber dari nur ilahi akan dapat menepis akibat buruk penyakit mental (mental illness), karena dalam situasi yang segawat apapun kita masih punya tempat pengaduan dan tempat kembali, yakni Allah (al-Baqarah: 155).

Kedua, keseimbangan dan keserasian horizontal. Dalam hal ini kita dituntun oleh Allah untuk menggalang komunikasi dengan baik. Kita sadar bahwa manusia hidup membutuhkan fasilitas. Dan alam semesta dan isinya memang dijadikan Allah untuk memenuhi hajat hidup manusia (al-Baqarah: 29).

Namun demikian, setelah manusia merancang kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam, manusia akhirnya sadar bahwa mereka ternyata lemah dan tak berdaya di hadapan keinginannnya sendiri (al-Nisa’: 27) karena hanya sedikit dari keinginan itu yang dapat terpenuhi. Hal itu sebagiannya dikarenakan manusia suka tergesa-gesa, ceroboh dan kurang perhitungan (al-Anbiya’: 37; al-Isra’: 11) dan suka melampaui batas (al-Alaq: 6-8), serta sering tidak tahan uji (al-Ma’arij: 19-21).

Belum lagi kalau dihadapkan dengan kenyataan bahwa karena manusia mempunyai interes yang beragam, maka konflik kepentingan seringkali tidak terhindarkan.

Dalam perihal hubungan antar manusia, suku, agama, ras dan golongan, sejarah telah banyak memberi pelajaran kepada kita. Yakni kalau hal tersebut gagal ditangani dengan baik, maka hubungan antar manusia menjadi tidak serasi, saling menghancurkan dan bahkan akan dapat menghapus keberadaan manusia itu sendiri.

Kejadian pembersihan etnik di Spanyol pada abad pertengahan, pembersihan etnik di kawasan Balkan yang belum lama terjadi, perang saudara berkepanjangan di beberapa kawasan Afrika, krisis berkepanjangan antara Israel dan bangsa Arab (Palestina), dan elegi Ambon dan Poso merupakan gambaran mini bagaimana manusia telah gagal menggalang harmoni dan stabilitas sosial.

Oleh sebab itu, Allah memberikan landasan dasar agar manusia menggalang prinsip “mutual understanding” atau ta’aruf, gemar dan senantiasa terobsesi untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan menjauhi kolusi yang bertujuan negatif (al-Ma’idah: 3).
Landasan dasar untuk menciptakan kemaslahatan ini tidaklah mudah. Ia membutuhkan pengorbanan-pengorbanan tertentu. Kedua pihak yang saling berkomunikasi kadang harus mundur selangkah pada saat yang sama; pada saat yang lain, salah satu pihak harus siap mengalah. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrem, kita siap membalas dengan kebaikan terhadap perbuatan jelek yang diberikan orang lain kepada kita (al-Furqan: 63).

Dalam kehidupan sosial yang seperti itulah, kita akan dapat menikmati kehidupan masyarakat harmoni dan damai dimana manusia akan mendapat kesempatan yang besar untuk mengejar kebutuhannya dengan baik, lancar, aman dan damai tanpa merugikan pihak lain. Tolong-menolong dan saling menghormati pihak lain akan dapat tumbuh dengan baik yang pada akhirnya akan menghasilkan suasana yang kondusif bagi terciptanya kemajuan.

Semangat yang selalu ingin menang sendiri, berbuat arogan, melecehkan pihak lain dan perbuatan beringas tidak dapat dibenarkan dalam Islam karena semuanya itu hanya akan mendatangkan kerugian bagi manusia sendiri.

Ketiga adalah keseimbangan lalu lintas keuangan dan sumber daya material yang ada pada kita. Kita seringkali melihat kenyataan dimana seseorang telah dapat menghasilkan uang dan harta yang banyak, akan tetapi orang itu tidak dapat menggunakannya secara efektif, bersikap boros atau bingung untuk apa harta itu harus dihabiskan.

Atau pada sisi yang lain, seseorang terlanda bakhil (kikir). Akibatnya, orang itu banyak membeli sesuatu yang tidak perlu; atau bahkan membeli sesuatu yang mengancam dirinya (seperti narkoba) dalam suasana boros, tak terkontrol.

Atau kebalikannya, manusia menjadi tertalu hemat, kikir, sehingga acuh tak acuh dengan lingkungan, tidak mau peduli terhadap pihak lain, kelompok lemah dan tertindas.

Menghadapi dua kutub esktrem ini, Allah memberikan tuntunan agar kita mengambil jalan tengah dan menjaga keseimbangan. Yakni ketika membelanjakan harta, kita tidak kikir, tetapi juga tidak berlebihan; kita berjalan di tengah dua kutub yang
sama-sama negatifnya (al-Furqan: 67).

Bahkan lebih jauh Islam memberikan dorongan kepada kita agar pemasukan lebih besar daripada pengeluaran sehingga kita memiliki tabungan dan cadangan anggaran. Untuk ke arah itu, tentulah tidak mudah.

Rayuan konsumerisme seringkali membuat kita terlena akan prioritas kebutuhan hidup kita sendiri. Pemilikan barang mewah telah menjadi simbol prestise seseorang, padahal kita masih ada dalam tahapan pemenuhan kebutuhan primer.

Singkatnya, keseimbangan antara kikir-boros dan pemasukan pengeluaran mendorong kita untuk dinamis, akurat dan proporsional mempergunakan kekayaan dan sumber daya yang ada.

Dalam kaitan kehidupan sekarang, prinsip keseimbangan menengah ini menjadi sesuatu yang pasti dan kebutuhan yang mendesak. Kestabilan antara pemasukan dan pengeluaran dalam neraca keuangan kita akan menjamin stabilitas keluarga.

Stabilitas keluarga akan menciptakan stabilitas sosial mulai tingkat RT sampai dengan nasional. Atau sebaliknya stabilitas keuangan negara akan menciptakan stabilitas Nasional dan stabilitas Nasional akan menimbulkan stabilitas regional dan lokal.

Dan stabilitas yang demikian akan memberi kontribusi yang berarti bagi stabilitas politik dan pemulihan ekonomi negara kita tercinta.

Demikianlah, titik-titik strategis yang digariskan oleh Islam untuk membangun masa depan.

Pertama, setiap muslim perlu memiliki orientasi ke depan dengan membangun keseimbangan gerak vertikal dan horizontal yang emperik dan efektif.

Kedua, perlu digalang usaha yang terus menerus untuk menciptakan keseimbangan orientasi sosial dan individual dimana prioritas sosial dengan meningkatkan “mutual understanding”, mempererat silaturrahim, saling tolong menolong antar sesama, dan kesediaan untuk berkorban untuk kepentingan yang lebih besar menjadi kunci keberhasilan individu dan masyarakat.

Ketiga, Perlu dibudayakan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran dimana surplus tetap menjadi prioritas. Tanpa titik-titik strategis tersebut, kiranya kita akan berhadapan dengan kekacauan, kegagalan dan penyesalan yang dalam. Suasana aman dan damai akan semakin menjauh dari kehidupan kita.

Dan Allah akan semakin tidak bersahabat dengan kita. Semoga kita mampu melihat emas sebagai emas dan loyang sebagai loyang. Amin.

ALLAHU AKBAR 3X WALILLAHILHAMDU

Jamaah Shalat Idul Fithri Yang Dimuliakan Allah.

Akhirnya marilah kita tutup khutbah Idul Fithri kita pada pagi ini dengan sama-sama berdo’a: mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi ampunan dan bimbingan kepada kita semua.