Oleh : Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM
ADA tiga kategori shiyam dalam perspektif Imam Al-Ghazali yakni: shiyam ‘umum, khushush dan khushushul khushush.
Dari ketiga kategori itu, yang terakhirlah yang beliau yakini mampu secara optimal membuat pencerahan dan perubahan diri bagi pelaku shiyam baik lahir maupun batin.
Yaitu orang yang shiyamnya tidak sekadar imsak (menahan diri) dari makan, minum dan nafsu seksual dari fajar sampai dengan maghrib.
Atau kategori kedua, shiyam yang telah mampu mengendalikan diri dari tiga nafsu utama (lawwamah, ammarah dan saufiyah) itu saja.
Jadi shiyam yang prestatif dan mencerahkan adalah shiyam yang telah mampu memenuhi “Qalbu”-nya dengan “Nafsul Muthmainnah” berkat jiwanya yang telah dipenuhi “Ma’iyyah ma’a Allah” atau “Ma’yyatullah”.
Hal ini berlaku pada setiap saat dan keadaan sebagaimana Allah SWT.berfirman:…
وهو معكم اينما كنتم. Artinya, Dia selalu bersamamu di manapun kamu berada (QS. 57: 4 dll.) Si shaim selalu merasa bersama dan dibersamai oleh Allah YM Segalanya, meskipun Allah SWT. Mahasuci dari membutuhkan tempat alalagi inkarnasi. Kondisi itu sebagai taraf lanjut dari terkondisikannya suasana lahir dan batin oleh sebab shiyam umum dan khusus di atas.
Jadi kedua kategori shiyam umum dan khusus adalah jembatan menuju shiyam khushushul khusus.
Sebuah posisi dan situasi batin yang telah tercipta sedemikian rupa dengan segala proses kimiawi dari anasir kebersamaan yang sustainibel berkelanjutan dari a sampai z-nya kehidupan.
Berkat kondisi kejiwaan di atas, umat Islam era Nabi SAW dapat menuai prestasi yang fantastik dengan membangun negara super power.
Hal itu tidak karena adanya senjata hipersonik atau bom nuklir mereka yang canggih. Bukan karena perangainya yang sangar dan garang dengan jenggot awut-awutan.
Bukan pula karena kemampuan ekonomi ribanya yang menjadikan mereka sejahtera. Bukan juga karena pemimpinnya yang absolut.
Negara Madinah bisa menjadi super power berkat tata hidup yang damai, sejahtera dan ketaatan terhadap Allah SWT. atas dasar “Ma’iyah ma’a Allah” atau “Ma’iyyatullah”, sehingga segala bentuk kriminalitas sukses dikendalikan.
Waktu itu negara dan lembaga dapat terwujud nir perang hujumi, minim korupsi dan kezaliman baik zalim kepada Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain.
Memang untuk mewujudkan shiyam kategori ketiga (khushushul Khusus) pada zaman now, umat ini masih terbata-bata.
Terbukti umat masih menghadapi kualitas dan prestasi mereka yang berada di arasy bawah. Bahkan shiyam yang seharusnya melembutkan hati, masih melahirkan ketidak adilan.
Membaranya semangat dan optimisme, ternyata masih melahirkan kekerasan sesama muslim seperti antara Saudi Arabia cs. dengan Yaman, penggal kepala sesama muslim di Siria dan sebagainya.
Belum lagi nasib sedih dan derita muslim minoritas di India, Cina, Miyanmar dan lainnya. Keadaan umat masih seperti yang digambarkan oleh Nabi SAW. (HSR. Abu Dawud dari Tsauban no 4297).
Yaitu bahwa “Umat bagaikan makanan yang dirayah sekawanan orang lapar lagi rakus dari kanan, kiri, dan belakang. Keadaan itu diakibatkan dari kualitas mereka yang seperti buih.
“Apakah kualitas buih itu? 1. Buih itu lemah dan tidak berbobot. 2. Buih itu sukar dikumpulkan dan disatukan. 3. Buih itu mudah pecah dan terbelah akhirnya tumpah.
Di sisi lain, berdasarkan survey yang kredibel, ada banyak contoh peringkat prestasi negara tahun 2021 sebagai pelajaran berharga bagi umat muslim:
1. Negara paling Islami adalah Selandia baru tetangga Australia. 2. Negara yang paling minim korupsi juga selandia baru. 3. Negara paling panjang umur penduduknya adalah Monaco, 89 tahun.
4. Negara paling bahagia adalah Islandia di Eropa. 5. Negara paling indah pemandangan alamnya adalah Indonesia.
6. Nagara yang umatnya paling dermawan juga Indonesia. 7. Jumlah umat Islam paling besar juga Indonesia. 8. Negara paling tertib adalah Islandia.
9. Negara paling aman juga Islandia. Kapan umat ini khususnya Indonesia dapat melampaui mereka dalam prestasi? Semoga!
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!!!
Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM, Ketua Umum MUI Wonosobo.