blank

Mengotak-atik Kebijakan Harga Tes PCR Dalam Masa Pandemi

Oleh : Gatot Eko Y

 

POLEMIK pemberlakuan tes PCR akhir-akhir ini terus bergulir seakan menjadi bola panas yang menghantui banyak masyarakat Indonesia terkhusus bagi pengguna moda transportasi darat, laut, dan udara.

Pasalnya semua moda transportasi tersebut hampir saja mewajibkan semua penumpangnya untuk memiliki hasil tes negatif.  Ketentuan yang tertuang dalam surat edaran (SE) Menteri Perhubungan Nomor 90/2021 wajib tes negatif antigen/PCR per 250 km perjalanan, atau dalam kurun waktu empat jam.

Namun ketentuan itu telah diubah dengan aturan baru untuk syarat perjalanan orang menggunakan transportasi darat dan penyeberangan.

Dalam surat edaran terbaru Nomor 94/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri yang menyatakan pelaku perjalanan jarak jauh yang menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum, dan angkutan penyeberangan dalam dan luar Jawa – Bali.

Yaitu kategori PPKM level 3,level 2, dan level 1, wajib menunjukkan hasil tes antigen maksimal 1×24 jam dan kartu vaksin minimal dosis pertama. Hasil tes dan kartu vaksin harus ditunjukkan sebelum keberangkatan yang akan dilakukan.

Selain polemik yang terjadi di atas hal yang sebetulnya sangat mendasar mengenai harga tes PCR juga dipertanyakan keabsahannya. Banyak kalangan termasuk masyarakat sipil menanyakan persoalan harga tes yang pada awal pandemi begitu mahal dan harganya jauh sekali dibandingkan di negara-negara lain.

Walaupun seiring berjalannya waktu diikuti dengan penurunan yang signifikan tercatat bahwa pemerintah telah menurunkan harga tes PCR sebanyak 3 kali penurunan yaitu, semula Rp. 2.500.000, turun jadi Rp. 900.000, turun lagi Rp. 500.000, dan harga terakhir Rp. 300.000.

Menurut pandangan penulis mengenai keterkaitan kebijakan penggunaan tes PCR pada moda tranportasi sangat erat hubungannya dengan penurunan harga.

Dapat dipikirkan bahwa penurunan harga tes PCR yang berdekatan dengan dikeluarkannya surat edaran Menteri Perhubungan tersebut diduga untuk lebih banyak menjangkau masyarakat secara menyeluruh pada pelayanan publik untuk menggunakannya yang mana pada surat edaran tersebut hasil tes PCR hanya berlaku 3×24 jam artinya ketika waktu berlaku habis kita diwajibkan melakukan tes kembali untuk bisa menggunakan moda transportasi.

Sehingga berapa banyak uang yang harus dikeluarkan hanya untuk moda transportasi kegiatan sehari-hari jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan. Tetapi dengan seiring penurunan harga yang terus terjadi, tidak boleh menurunkan kualitas hasil dari tes PCR dan juga tidak boleh membedakan waktu tunggunya, jangan karena perbedaan harga ada hasil tes yang cepat dan ada yang tidak, kalau dimungkinkan untuk satu harga dan bisa sama-sama cepat kenapa tidak diberlakukan demikian.

Etika good governance

Peliknya kebijakan tes PCR ini dibarengi isu mengenai motif bisnis dalam kebijakan tes PCR selama masa pandemi covid-19 oleh para pejabat negara dan orang yang memiliki kepentingan di dalamnya (conflict of interest).

Hal ini membuat seakan etika dilupakan bahwa penyelenggara negara terkhusus orang-orang di tampuk pucuk pemerintahan dalam masa kritis masih melanda seperti ini (pandemi) wajib mementingkan urusan masyarakat dibanding kepentingan diri pribadi atau kelompok tertentu.

Karena padanya melekat status jabatan fungsi dan wewenang untuk ikut andil mengelola negara. Dengan kata lain pejabat pemerintahan tidak dapat melepaskan dirinya terhadap pemahaman tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Sehingga dijadikan dasar dan tata cara untuk terciptanya pemerintahan yang baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.

Dengan demikian beberapa permasalahan yang telah diuraikan secara singkat di atas musti menjadi tolak ukur pemerintah untuk merumuskan kebijakan kedepan.

Pembuat kebijakan harus benar-benar mempertimbangkan faktor keadaan sosial guna membantu kebijakan tersebut dapat diterapkan dan diikuti oleh masyarakat tanpa ada nya distrust dari masyarakat itu sendiri.

Jangan sampai rencana perluasan penggunaan tes PCR untuk moda transportasi dan isu keterkaitan pejabat pemerintahan membuat masyarakat berasumsi, bahwa ada pihak tertentu yang sedang memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan.

Dilain sisi pemerintah juga harus memperkuat komunikasi dengan masyarakat untuk menjelaskan duduk masalah dengan transparan setidaknya akan membuat masyarakat mengerti sehingga rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus terjaga.

(Gatot Eko Y, Mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang).

Suarabaru.id