KUDUS (SUARABARU.ID) – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, masih kesulitan pengembangan Museum Patiayam menjadi pusat wisata purbakala yang lebih besar. Keberadaan situs Patiayam beserta museum yang ada, selama hampir dua dasa warsa ini terbilang masih jalan di tempat.
Padahal, situs yang ditemukan sejak 35 tahun lalu tersebut tak kalah dengan situs Sangiran dan Trinil. Sejak ditemukan hingga sekarang, pemerintah kabupaten Kudus baru membangun beberapa infrastruktur pendukung seperti museum fosil, gardu pandang, serta sedikit perbaikan infrastruktur jalan.
Padahal, untuk menjadikan Patiayam sebagai obyek wisata arkeologi, dibutuhkan lebih banyak lagi infrastruktur penunjang. Museum fosil yang ada saat ini, kapasitasnya juga terbatas dan kurang memadai untuk menampung dan merawat ribuan fosil yang ditemukan.
Sulitnya mengembangkan situs Patiayam ini diakui oleh Bupati Kudus Hartopo. Menurutnya, pengembangan situs beserta museum masih terkendala persoalan lahan yang saat ini berstatus tanah desa.
“Sepanjang masih sewa dengan pemerintah desa, tentunya kami belum bisa mengusulkan bantuan melalui dana alokasi khusus (DAK) karena syaratnya harus tanah milik pemkab,” kata Bupati Kudus Hartopo.
Jika tanahnya belum milik sendiri atau masih sewa, maka pengembangannya harus menggunakan dana APBD, sedangkan saat ini kemampuan APBD Kabupaten Kudus sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan melakukan pengembangan.
Sementara itu, Pelaksana tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Mutrikah mengakui program pembelian tanah memang sudah lama direncanakan, bahkan pernah diusulkan penganggarannya. Hanya saja, untuk saat ini belum dilanjutkan karena keterbatasan anggaran.
“Pengadaan tanah tetap menjadi target utama agar bisa mengembangkan Museum Patiayam. Jika lahan sudah milik pemkab, tentunya mudah mengajukan bantuan anggaran baik dari DAK maupun sumber lain, termasuk dari APBD sendiri,” ujarnya.
Keberadaan Museum Patiayam yang ada sekarang, menyewa lahan milik pemerintah desa setempat dengan biaya sewa yang setiap dua tahun sering kali mengalami kenaikan.
Luas bangunan museum yang ada sekarang juga kurang representatif karena hanya bisa menampilkan koleksi museum dengan jumlah yang sangat minim, sedangkan koleksi fosil purba yang dimiliki cukup banyak.
Ribuan Fosil
Dari catatan yang ada, situs Patiayam pertama kali ditemukan tahun 1979 oleh Dr Yahdi, ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung. Pertama kali Yahdi menemukan sebuah gigi geraham dan tujuh pecahan tengkorak manusia purba.
Tiga tahun kemudian, 1982 ditemukan gading Stegodon sepanjang 3,5 meter dan geraham manusia oleh warga yang sedang mencangkul di tegalan di perbukitan Patiayam. Pada 2002 warga kembali mendapatkan beberapa temuan.
Sejak itu, ratusan bahkan ribuan fosil silih berganti ditemukan oleh petani sekitar. Mereka secara tidak sengaja menemukan fosil-fosil tersebut saat mengolah lahan mereka.
Saat ini, jumlah fosil di situs Patiayam diperkirakan mencapai 3000 keping lebih. Sebagian besar diantaranya telah teridentifikasi berkat penelitian yang dilakukan tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Fosil-fosil baik yang ditemukan secara tidak sengaja maupun melalui eskavasi (penggalian) tersebut sebagian besar sudah disimpan di museum fosil yang terletak di dekat Balai Desa Terban.
Berdasarkan data dari Museum Patiayam, jumlah fosil yang ditemukan di Situs Patiayam mencapai ribuan fosil yang mayoritas merupakan hasil temuan warga. Adapun koleksi fosil yang berhasil ditemukan di kawasan Situs Patiayam, yakni Stegodon Trigonochepalus (gajah purba), Elephas Sp (juga sejenis gajah purba), Ceruss Zwaani dan Cervus Lydekkeri Martin (sejenis rusa), dan Rhinoceros Sondaicus (badak).
Ditemukan pula Brachygnatus Dubois (babi), Felis Sp (macan), Bos Bubalus Palaeokarabau (sejenis kerbau), dan Bos Banteng alaeosondaicus, serta Crocodilus sp (buaya) serta kapak genggam atau chopper.
Tm-Ab