WONOSOBO (SUARABARU.ID) – Muktamar ke 34 NU tinggal menghitung hari. Forum tertinggi jam’yah Nahdlatul Ulama yang akan dihelat di Bandar Lampung pada 23-25 Desember mendatang, dengan demikian kurang 76 hari lagi, sejak hari ini.
Apakah karena masih dalam kondisi Pandemi Covid-19 Muktamar 34 NU menjadi kurang greget lagi? Padahal seharusnya, Muktamar sudah dilaksanakan satu tahun yang lalu.
Kurang gregetnya, terutama pada opini yang mengemuka akhir-akhir, justru lebih kepada perebutan Ketua Umum PBNU. Maaf, sebegitu vitalkah jabatan Ketua Umum (Tanfidziyyah) sehingga harus menguras energi sedemikian rupa untuk memperdebatkannya? Bukankah NU adalah jam’iyah yang “dikendalikan” oleh kepemimpinan ulama, dengan demikian otoritas keulamaan-lah yang sebenarnya harus lebih dikedepankan. Ulama yang seharusnya menjadi sumber inspirasi, bukan sekadar diposisikan sebagai alat legitimasi kepentingan pencalonan!
Kita tak memungkiri, suksesi kepemimpinan PBNU memang sangat penting. Jika ini yang harus dibahas, yang patut kita renungkan justru perlunya NU mempersiapkan proses regenerasi yang mapan. Tentu kita tak ingin mengulang sejarah kepemimpinan almaghfurlah KH Idham Chalid yang karena begitu lama (1952-1984) akhirnya “didongkel” para kiai dan melahirkan konflik berkepanjangan.
Gus Dur telah menjadi pintu regenerasi kepemimpinan yang sangat baik. Tiga periode kepemimpinannya (1984-1999) telah berhasil menciptakan kader unggulan dan merubah wajah NU, bahkan di mata internasional.
Tiga periode kepemimpinan Gus Dur bukan untuk dijadikan yurisprudensi. Apalagi konteksnya saat ini sudah jauh berbeda. Alm KH Hasyim Muzadi pun cukup dua kali memimpin NU (1999-2010).
Kini, sudah banyak lahir generasi-generasi baru. Kita semua tahu, KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqil Siradj, dan bahkan semua yang kini memegang kendali NU (terutama jajaran Tanfidziyah) adalah santri-santri terbaik Gus Dur. Tentu mereka semua mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan peluang dalam proses alih generasi itu.
Jika kemudian saat ini nama Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf) juga mengemuka, tak elok rasanya mengidentifikasi beliau sebagai orang HMI, seakan dipandang sebagai “anak tiri” di NU. Sebagai rumah besar, NU harus memberikan tempat yang sama untuk semuanya. Hal ini juga sudah dibuktikan, dengan tampilnya Saifullah Yusuf, dan Helmy Faishal Zaini misalnya, di jajaran inti PBNU. Saat kuliah, mereka adalah kader HMI.
Menurut saya, isu rivalitas PMII dan HMI sangat tidak layak dibincangkan di NU. Terlalu kecil jika NU hanya membahas soal itu. Sama kecilnya jika NU juga hanya ditarik-tarik untuk kepentingan politik kekuasaan, apalagi kepentingan partai tertentu.
Banyak agenda besar yang masih harus mendapatkan perhatian. Bagaimana memberdayakan jama’ah NU yang konon mencapai 48 persen, berdasarkan survey LSI Denny JA pada 2019. Berarti ada 116 juta lebih dari populasi masyarakat Indonesia diidentifikasi sebagai NU. Mayoritas dari mereka adalah para pedagang kecil, para petani, para buruh, yang saat ini kehidupannya sangat memprihatinkan.
Bukankah cita awal dari para pendiri NU adalah untuk membangkitkan umat? Agenda pemberdayaan semestinya harus dikedepankan, sebagaimana dulu Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari bersama KH Wahab Hasbullah dll kerso memimpin langsung Syirkatul ‘Inan (semacam Koperasi para Pedagang) sebagai bagian dari gerakan Nahdlatut Tujjar pada 1918.
Kalisuren, 9 Oktober 2021
Idham Cholid
Warga Nahdliyin, tinggal di Wonosobo;
Mantan Ketua Umum PMII Jombang 1994-1996; Ketua PB PMII 1997-1998