blank
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, memperlihatkan sejumlah kemasan produk UKM Ponpes saat menghadiri giat bimbingan teknik pengembangan kemasan produk ponpes di Hotel Pollos Rembang, Kamis (23/9/2021). (doc/ist)

REMBANG (SUARABARU.ID) – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan pelatihan pengembangan kemasan produk kepada 49 santri dari berbagai daerah di Jateng.

Selama pelatihan, para santri mendapatkan bimbingan teknik untuk mempercantik kemasan berbagai produk pondok pesantren agar menarik dan dapat bersaing di pasar modern maupun ekspor.

“Ini produk-produk ponpes, kita dorong lagi untuk memajukan ekonomi pesantren. Kami dari Dinkop dan UKM Provinsi Jateng berterima kasih kepada pondok-pondok pesantren yang sudah mengikuti pelatihan teknik pengemasan produk,” kata Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen di sela bimbingan teknik pengembangan kemasan produk ponpes di Hotel Pollos Rembang, Kamis (23/9/2021).

Taj Yasin memuji kemasan produk-produk ponpes yang telah disulap yang awalnya hanya dibungkus plastik polos hingga menjadi kemasan baru hasil desain peserta. Beberapa produk yang dipamerkan antara lain produk Tiwul kering, Opak Singkong, Intip (kerak nasi) dan makanan tradisional lain yang dikemas sangat menarik.

Selain bahan kemasan lebih berkualitas, desain logo menarik, serta sertifikat izin PIRT, dan komposisi produk tercantum rapi, sehingga layak bersaing dengan produk lain di pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri.

“Ini kemasannya sudah bagus, sudah ada sertifikat halal, izin produksinya sudah ada, tanggal kadaluarsa sudah ada, tinggal nanti dicantumkan nomor kontaknya sehingga kalau ada orang yang mau pesan lebih mudah. Kalau makanan intip seperti ini biasanya adanya di pasar tradisional, tapi kalau sudah dikemas seperti ini bisa masuk minimarket dan supermarket,” bebernya.

Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jateng Ema Rachmawati menjelaskan, produk-produk ponpes di Jateng sangat beragam, namun selama ini kemasannya biasa-biasa saja, sehingga nilai jualnya relatif rendah.

“Kalau kita mau menaikan nilai tambah produk UKM maka kemasannya harus bagus. Kita ingin memperkenalkan produk Jateng keluar dari Jateng atau tidak hanya di Jateng, dan tidak hanya pasar tradisional tetapi juga market modern. Ini sangat memperhatikan estetika dan kualitas dari sebuah produk melalui kemasan,” katanya.

Ema menyebutkan, sekitar 49 persen permasalahan yang dihadapi UMKM adalah terkait pemasaran. Terlebih saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, pemasaran secara luar jaringan (luring) menjadi terkendala sehingga beralih ke dalam jaringan (daring). Sedangkan pada pemasaran daring hal penting yang harus ditonjolkan adalah kemasan dari produk.

Salah seorang peserta bimbingan teknik, Takhlisul Ibad, mengaku senang dapat mengikuti bimtek pengemasan produk ponpes. Melalui kegiatan tersebut, para santri mendapat banyak informasi tentang kreativitas dalam membuat kemasan untuk produk buatannya.

Menurutnya, kegiatan pelatihan pengemasan produk yang melibatkan para santri yang telah mempunyai produk UMKM seperti ini sudah sejak lama didambakan. Banyak santri yang sudah membuat produk, tetapi belum tahu cara mengemas dan memasarkannya. Maka melalui pelatihan ini akan menjadikan santri lebih kreatif dan inovatif, sekaligus bisa memajukan ekonomi pesantren.

“Kami yang tadinya masih kurang informasi tentang kemasan yang menarik, tidak cara mendesaìn logo dan lainnya kemudian setelah mengikuti kegiatan ini akan bisa membuat kemasan menarik, sehingga produk ponpes mampu bersaing dengan produk-produk lain,” terangnya.

Santri asal Rembang itu menjelaskan, produk madu klanceng yang digelutinya sejak 2016 tidak hanya diminati konsumen Nusantara, tetapi juga dari luar negeri seperti Malaysia dan Korea.

Namun, karena hanya dikemas dalam botol kecil berukuran 100 mililiter dengan merk produk berbentuk tulisan biasa yang ditempelkan pada botol, membuat produk multi khasiat itu tidak menarik.

“Seperti madu klanceng punya saya, ini yang tanya ada dari Malaysia dan Korea, cuma dari lasan produknya menurut saya merasa kurang menarik, apalagi dijual Rp. 50 ribu per botol. Mungkin kedepannya dibuat semenarik mungkin, ada dusnya, logo lebih elegan karena ini madu mahal tapi kemasannya tidak didesain premium sehingga terlihat madu mahal, jadi tidak asal kemas,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini