blank

Oleh: Faridah

Berbagai dimensi kehidupan terkena dampak sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal 2020. Setidaknya hingga pekan kedua September 2021, atau hampir dua tahun, kehidupan sosial dan ekonomi tersendat. Pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan darurat di 2020 untuk mencegah memutus rantai penularan Covid-19. Kebijakan darurat itu juga bersambung pada 2021 dengan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Pendidikan menjadi salah satu dimensi yang terkena paling serius dari kebijakan tersebut. Sejak pandemi melanda, diberlakukan pembelajaran jarak jauh (PPJ). Tak ada kontak langsung secara fisik antara guru dan peserta didik. Efektifitas PPJ untuk mentransfer pengetahuan ke peserta didik masih bisa dilakukan dengan mengoptimalkan ruang digital yang terkoneksi dengan jaringan internet.

Komprehensivitas konten pembelajaran juga terdukung dengan perangkat multimedia. Sudah ada perkembangan baik dengan dimulainya pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan standard prosedur kesehatan. Di sebagian satuan pendidikan, pembelajaran tatap muka masih dalam tahap uji coba. Tergantung kondisi kedaruratan masing-masing daerah. Kita belum mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan darurat yang sudah semestinya diambil karena ada dua prinsip dalam pembelajaran di masa pandemi. Pertama, harus memprioritaskan keselamatan dan kesehatan. Kedua, tetap memperhatikan perkembangan fisik, mental dan psikososial dari peserta didik. Ketika pembelajaran masih berlangsung daring, bagaimana nasib pendidikan karakter ke peserta didik?

Intimasi Komunikasi Tidak  Ideal

Bukankah saat berlangsung daring, intimasi komunikasi jelas tak seideal saat pembelajaran itu dilakukan dengan tatap muka? Mengutip Maragustam Siregar (2014), bukankah strategi pendidikan karakter di antaranya terciptanya habituasi atau pembiasaan dan keteladanan dari lingkungan sekitar seperti sekolah?

Ruang kontak paling intensif selama pembelajaran, jika itu sasarannya adalah pendidikan karakter adalah keteladanan guru. Bagaimana pembelajaran karakter ini bisa efektif jika teladan guru menempati ruang kosong ?. Sebab sama sekali tak ada intimasi komunikasi guru-peserta didik karena pembelajaran berlangsung daring.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menjadi perenungan guru, dan tentu saja orang tua dari peserta didik. Bagaimana tidak, setelah hampir dua tahun pembelajaran daring, pertemuan peserta didik dengan guru dalam beberapa hari ini di masa awal uji coba pembelajaran tatap muka, banyak yang terlihat canggung.

Sebelum pandemi, anak-anak terbiasa menyapa guru dengan hangat, juga sebaliknya karena adanya intimasi akibat seringnya frekuensi pertemuan. Kini, karena prokes sementara tidak bersalaman dan menganggukkan kepala saat bertemu pun canggung.

Sederhana masalahnya. Perkenalan guru dengan peserta didiknya belum sampai ke “hati”. Bagaimana mungkin peserta didik meneladani tindakan keseharian guru di kelas/sekolah, jika secara psikologis masih berjarak/asing. Padahal intimasi komunikasi secara fisik maupun psikis ini menjadi pintu masuk peserta didik mengunduh keteladanan guru di lingkungan sekolah.

Pendidikan agama di sekolah menjadi ujung tombak menanamkan pendidikan karakter. Dalam proses pembelajaran agama, pembudayaan untuk berbuah baik kepada diri sendiri maupun pihak lain membutuhkan contoh-contoh perilaku. Bahkan untuk hal-hal yang sifatnya pengetahuan dan praktik, ia sangat butuh habituasi. Pembelajaran daring memiliki tantangan besar untuk bisa menjangkau target ini.

Tips Meminimalisir Celah Pendidikan Karakter

Dari situasi itu, berdasarkan pengalaman penulis, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan celah pendidikan karakter karena ruang kosong keteladanan di masa pandemi.

Pertama, meskipun pembelajaran berlangsung secara daring, guru harus kreatif menciptakan suasana sedemikian rupa agar atmosfer pembelajaran tak terlalu senjang antara saat daring maupun tatap muka. Dari sudut siswa maupun guru, kedisiplinan mesti terjaga selama pembelajaran. Sebisa mungkin menciptakan ruang komunikasi yang hangat. Konten-konten digital yang disajikan dengan beragam platform juga mesti mendukung penngkodisian suasana itu.

Kedua, pembiasaan-pembiasaan baik yang biasa dilakukan sebelum pandemi, tetap harus dihadirkan di tengah PPJ. Misalnya, kebiasaan berkata baik, menghargai teman (setidaknya saat berkomunikasi daring), juga praktik-praktik dimesi religiusitas mesti mendapat perhatian khusus.

Ketiga, perlu adanya kesepahaman yang “klik” antara guru dan orang tua peserta didik. Habituasi, juga pengkondisian atmosfer pembelajaran yang efektif di masa pandemi amat sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) terjadi tanpa pendampingan ekstra dari orang tua terhadap anaknya. Kesepahaman ini bisa diciptakan dengan memperbanyak frekuensi komunikasi efektif antara guru dan orang tua peserta didik.

Tiga hal di atas penulis sadari hanya sebatas upaya meminimalkan keterbatasan-keterbatasan ruang pembelajaran karakter di masa pandemi. Sebab situasinya bisa menjadi lebih buruk jika pendidikan karakter ini sama sekali tak tersentuh.

Ikhtiar optimalisasi pembelajaran perlu terus dilakukan agar peserta didik tak kehilangan sentuhan afeksinya. Di luar itu, pendidikan karakter anak tentu saja membutuhkan peran banyak pihak. Lingkungan pembelajaran kelas maupun di luar sekolah, orang tua, keluarga dan masyarakat  sama-sama berdampak signifikan. Kita berharap pandemi ini segera berakhir.

Penulis adalah Guru Sekolah Dasar Unggulan Terpadu Bumi Kartini dan anggota Dewan Pendidikan  Kabupaten Jepara