SEMARANG (SUARABARU.ID) – Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini memperburuk kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang sejak dulu telah mengalami kelebihan kapasitas.
Banyaknya jumlah narapidana penghuni Lapas yang terjangkit virus corona menjadi perhatian berbagai pihak untuk mengevaluasi regulasi penanganan narapidana yang sebagian besar merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga melalui rilisnya, Senin (9/8/2021).
Sebelumnya diungkapkan bahwa jumlah narapidana yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 9.000 orang. Hal ini terjadi akibat kondisi antar tahanan yang harus hidup berhimpitan karena ruang tahanan yang tak mampu menampung jumlah Narapidana.
Sementara Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menilai keliru apabila persoalan kelebihan kapasitas Lapas merupakan tanggungjawab Kemenkumham.
“Mengapa?, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Lembaga Pemasyarakatsn itu tempat pembuangan terakhir,” ujarnya saat webinar Covid-19, Prison Overcrowding And Their Impact on Indonesia’s Prison System yang diadakan Ditjen PAS.
Menurut Edward, Lapas tidak bisa melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana. Lapas hanya menerima apa saja yang menjadi putusan dalam pengadilan. Pihaknya menilai, hal ini perlu dibicarakan dengan institusi kepolisian, kejaksaan, terlebih peradilan yang menentukan putusan hukuman bagi seorang pelaku tindak kejahatan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai leading sector penanganan permasalahan narkotika yang menyumbang angka tertinggi jumlah narapidana kasus narkoba, menanggapi hal tersebut.
Deputi Hukum dan Kerjasama BNN, Drs. Puji Sarwono menyebutkan, berdasarkan data tahun 2019, sebanyak 78% dari 17.009 warga binaan di 9 Lapas di Jakarta merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
“Kondisi ini menyebabkan tujuan sistem pemasyarakatan yang awalnya hendak mengembalikan mereka menjadi warga negara yang baik menjadi sulit untuk dilakukan secara optimal,” jelas Puji yang juga menghadiri webinar Covid-19, Prison Overcrowding And Their Impact on Indonesia’s Prison System yang diadakan Ditjen PAS.
Menurutnya, kondisi kelebihan kapasitas ini sangat berbahaya dalam konteks penyebaran Covid 19 dengan kondisi Lapas yang padat dan ventilasi udara yang kurang memadai.
Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, BNN mengusulkan beberapa rekomendasi, salah satunya dengan tidak menjadikan sanksi pidana penjara sebagai muara, melainkan dengan memaksimalkan upaya rehabilitasi.
“Hal ini sejalan dengan laporan UNODC dalam World Drug Report 2011 yang menekankan bahwa penegakan hukum untuk mengurangi peredaran (Supply Reduction) harus disertai dengan kebijakan untuk mengurangi permintaan (Demand reduction),” paparnya.
Dikatakan bahwa penanganan pada aspek permintaan berfokus pada pencegahan penyalahgunaan narkotika, crime reduction dan pelayanan rehabilitasi.
“Sehingga permasalahan penyalahgunaan narkotika tak lagi bermuara pada sanksi pidana penjara, melainkan bermuara di tempat rehabilitasi,” imbuhnya.
Hal lain yang menjadi rekomendasi dari BNN adalah pemaksimalan proses Tim Asesmen Terpadu (TAT) dalam menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika, serta rekomendasi terapi dan rehabilitasi yang tepat dalam menangani pecandu narkotika.
“Ini sesuai dengan amanah dari Pasal 54 Undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,” pungkas Puji.
Ning