blank

blank

Oleh : Hadi Priyanto

Dalam buku Suma Oriental catatan Tome Pires juga diungkapkan, Jepara  memiliki  andil  yang besar dalam perkembangan Islam  di  pulau  Jawa.

Sebab banyak kaum sufi dan pedagang dari  Cina, India,  Arab dan dari seberang lautan yang menyebarkan  ajaran Islam itu secara damai di pulau Jawa. Karena itu Jepara memiliki peran yang sangat penting.

Bahkan dalam Serat Kandha edisi Brandes disebutkan,  saat Raden Rahmat atau yang kemudian dikenal sebagai  Sunan Ampel pertama kali datang ke pulau Jawa, ia menjejakkan kakinya pertama kali di Jepara.  

Sedangkan dalam Hikayat Hasanudin, naskah sejarah yang berasal  dari  Banten mengungkapkan, setelah  Sunan Ampel wafat pada tahun 1475 M atau ada yang menyebut 1481 M,  ada  anak dan keluarganya yang  pindah ke Jepara.

Dalam hikayat ini disebutkan,  anak Sunan Ampel yang pindah ke Jepara pertama kali adalah Nyai Gede Pancuran bersama suaminya, Pangeran Ibrahim. Ia  juga dikenal  sebagai  pandita dari atas angin,  karena kesalehan hidup dan kebaikan hatinya.

Pangeran  Ibrahim adalah ipar Raden Makdum Ibrahim yang kemudian dikenal sebagai  Sunan Bonang.   Mereka  tinggal  di suatu tempat yang disebut Karang Kemuning.

Dalam Hikayat Hasanudin juga   dikisahkan, setelah beberapa saat menjadi imam masjid di Surabaya,  Makdum Ibrahim juga menyusul kakaknya ke Jepara. Sebelumnya ia menjadi  imam masjid di Demak.  Setelah cukup lama tingggal di Jepara,  rumahnya   terbakar. Demikian juga kitab-kitab  yang  dimiliki.

Murid-muridnya berdatangan ke Jepara untuk memberikan pertolongan, termasuk Kalijaga. Namun Makdum Ibrahim tidak mau membangun kembali rumahnya.  Ia  bahkan  kemudian   pindah ke Bonang, Demak, hingga akhirnya Makdum Ibrahim  dikenal sebagai Sunan Bonang.

Beberapa waktu kemudian pindah ke  Tuban,  hingga akhirnya wafat dan  dimakamkan di  kota ini. Kehadiran anak-anak  Sunan Ampel  di  Jepara, dapat diduga karena kedekatannya dengan Arya Timur yang memang dikenal  memiliki hubungan  baik dengan para ulama  yang melakukan syiar Islam di pulau Jawa.

Sebab  berdasarkan catatan Tome  Pires sekitar  tahun 1470 Masehi, Jepara telah dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Walau pun  penguasa muslim ini tidak  disebutkan namanya, tetapi  tahun 1470  Masehi dicatat oleh Tome  Pires, penguasa Jepara adalah Arya Timur.

Peran Ratu Kalinyamat

Peran Ratu Kalinyamat dalam syiar Islam di pulau Jawa juga sanggat besar. Setelah sepuluh tahun naik tahta, ia membangun  sebuah masjid di dekat makam suaminya. Pembangunan masjid ini  ditandai  dengan candra  sengkala  yang  terletak di mihrab masjid berbunyi   Rupo  Brahmana Warna Sari atau tahun 1481 Saka.

Jika dikonversi dalam penanggalan Masehi  menjadi   tahun  1559 Masehi. Masjid  Mantingan ini   merupakan salah satu  dari delapan masjid  tertua di Indonesia.

Masjid yang  terletak di desa Mantingan ini dihiasi  dengan  berbagai  macam ornamen ukiran yang  terbuat dari batu  putih. Ornamen yang ada di  Masjid Mantingan memiliki nilai-nilai yang merupakaan perpaduan   secara  harmonis nilai Islami, Hindu dan Tiongkok.

Masuknya  budaya  Islam  dalam  ornamen ukiran masjid Mantingan ini konon berasal dari  petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ratu  Kalinyamat. Ini sekaligus menjadi bukti   ketaatan Ratu Kalinyamat dalam menjalankan ibadah dan syariat Islam.  Namun masih nampak jelas  unsur budaya Hindu dan Tiongkok.

Perpaduan budaya  ini nampak pada gapura   makam yang  menggunakan gerbang candi  bentar yang merupakan salah satu  ciri khusus bangunan candi Hindu.

Walaupun tidak banyak yang mencatat,   masjid Agung  Jepara  adalah masjid  kerajaan yang dibangun  oleh Pangeran  Hadirin dan Ratu  Kalinyamat. Karena itu,  seperti halnya  makam dan masjid Mantingan,  arsitektur masjid  ini  adalah  perpaduan antara Jawa dan Tiongkok.

Menurut  Wouter Schouten dalam  bukunya berjudul  Oost-Indische Voyagie  yang  diterbitkan tahun  1676, masjid  kerajaan ini dibangun dekat koningshof  atau istana raja. Letaknya  ditulis dekat  dengan pelabuhan Jepara.

Dijelaskan  pula oleh Wouter Schouten, masjid istana Jepara ini dibangun seperti menara yang memiliki atap lima tingkap yang  ukurannya semakin ke atas semakin kecil. Sedangkan masjid ini beratap tumpang dan bagian  puncak atap terdapat mata tombak  seperti yang lazim  digunakan dalam arsitektur Tiongkok.

Jejak sejarah ini, merupakan kekayaan budaya yang sangat penting. Jejak-jejak itu, bisa menjadi pemandu, untuk kemudian dikembangkan menjadi potensi bagi Jepara.

Peninggalan-peninggalan sejarah ini, menjadi potensi wisata yang menarik. Bukan hanya sebagai wisata sejarah dan budaya, tetapi juga wisata religi.

Kita tunggu perkembangannya. Pariwisata memang tak ada matinya.

Hadi Priyanto adalah seorang wartawan,  penulis dan pegiat budaya Jepara

blank

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini