Oleh Idham Cholid
Tentu, bukan kesamaan garis keturunan yang hendak kita kedepankan. Saya yakin, Bung Karno dan Mbah Wahab sendiri, tak pernah membahas itu. Bahkan mungkin merahasiakannya. Dan bukan pula perbedaan latar belakang pendidikan yang harus dipersoalkan.
Singkat kata, bukan karena garis keturunan dan latar belakang pendidikan itu, keduanya harus ditonjolkan. Namun, komitmen kebangsaan kedua tokoh besar itulah yang mesti diteladani. Yang jelas, keduanya telah aktif berkiprah sejak muda.
Islam dan Nasionalisme
Yang menarik sebenarnya, baik Bung Karno maupun Mbah Wahab ternyata berada pada titik temu yang sama: pernah menimba ilmu kepada HOS Tjokroaminoto. Kepadanya pula tokoh-tokoh besar pernah belajar. Sebut saja, misalnya, SM Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Meskipun kemudian di antara mereka berbeda “aliran” dan mengambil pilihan peran berseberangan.
Siapa sebenarnya HOS Tjokroaminoto, yang oleh Belanda digelari De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa tanpa Mahkota” itu. Tak lain, dia adalah putra dari RM. Tjokroamiseno, putra RM. Adipati Tjokronegoro (tercatat, pernah menjadi Bupati Ponorogo), putra dari Ki Ageng Kasan Besari –yang bernama asli Muhammad Hasan Basri (w.1747), pendiri Pesantren Tegalsari Ponorogo.
Gus Dur pernah menjelaskan bahwa Ki Kasan Besari merupakan “monumen berpadunya antara Islam dan Nasionalisme.” Keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan seperti tasawuf, ketatanegaraan, strategi perang, juga kesusasteraan, telah banyak dikenal di seantero nusantara saat itu, sehingga tak sedikit yang berbondong-bondong menimba ilmu kepadanya.
Disebut monumen, karena menjadi tonggak di mana gagasan dan gerakannya tegak, bahkan hingga kini. Dari sanalah lahir tokoh-tokoh masyhur, antara lain Pakubuwono II, Sultan Kartasura yang berkancah dalam lapangan kenegaraan; juga Raden Ngabehi Ronggowarsito (bernama asli Burhanuddin atau Bagus Burhan), sastrawan Jawa pencipta kidung zaman edan. Selain HOS Tjokroaminoto sendiri tentunya, yang merupakan motor pergerakan nasional. Di sini, Gus Dur juga menyebutkan bahwa dari jalur Ki Kasan Besari inilah ternyata HOS Tjokroaminoto dan Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Bahkan, menurutnya, visi (nasionalisme) NU sangat diwarnai oleh persaudaraan antara keduanya.
Menurut saya, perspektif itu penting kita ketengahkan untuk membaca pergumulan Islam dan nasionalisme dalam konteks Pergerakan Indonesia. Nasionalisme sebagai jiwa, semangat, dan komitmen kebangsaan, yang diinspirasi nilai-nilai keislaman khususnya, yang harus terus digali sehingga menemukan relevansinya saat ini. Tanpa kecuali ketika kemudian kita membaca kepeloporan peran Bung Karno dan Mbah Wahab.
Kita tak memungkiri, HOS Tjokroaminoto –juga SI yang dipimpinnya– memang memainkan peran penting dalam proses itu. Dijelaskan sejarawan Harvard AS, Lothorp Stoddard (1966), jiwa nasionalisme yang mulai berkobar-kobar sejak lahirnya SI yang dimotori HOS Tjokroaminoto. Di mana-mana kemudian tumbuh organisasi kebangsaan maupun keagamaan yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Sejarah mencatat, SI merupakan organisasi Islam tertua di Indonesia. Bahkan dengan Budi Utomo yang lahir pada 1908 sekalipun. Awalnya Sarekat Dagang Islam (SDI), hanya perkumpulan para pedagang muslim yang didirikan pada 1905 oleh KH Samanhudi di Surakarta. Namun setahun kemudian berubah nama menjadi SI. Sejak dipimpin HOS Tjokroaminoto, mulai tahun 1912, organisasi ini telah mengembangkan sayapnya bahkan sampai ke luar negeri.
Sebab itu, Mbah Wahab aktif pula saat di Makkah. Tak ada pilihan lain. Komitmen keislaman dan kebangsaan juga menuntutnya melakukan peran secara nyata. Dan tak hanya di Makkah. Ketika sampai di tanah air pada 1914 juga masuk dalam jajaran kepengurusan inti di SI. Dari sinilah Mbah Wahab banyak bergaul dengan kalangan nasionalis, juga bergumul dengan ide dan gagasan tentang nasionalisme. Mbah Wahab memang tipologi orang yang fleksibel dan adaptif, pandai bergaul dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tetapi sangat tangguh dalam mempertahankan dan membela pendiriannya.
Namun demikian, meski termasuk jajaran orang penting di SI, bagi Mbah Wahab nampaknya masih ada yang kurang jika tidak mendirikan perkumpulan tersendiri. Mungkin karena di SI dianggap terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedang Mbah Wahab lebih menginginkan tumbuhnya nasionalisme lewat kegiatan pendidikan keagamaan.
Mbah Wahab tidak sendiri. Bersama KH. Mas Mansoer –yang juga aktif di SI namun kemudian menjadi tokoh penting di Muhammadiyah– dimatangkanlah gagasan menumbuhkan nasionalisme lewat pendidikan. HOS Tjokroaminoto juga sangat mendukungnya. Maka, sejak 1916 Nahdlatul Wathan mulai didirikan di Surabaya, sebuah perguruan yang mendidik dan membangunkan semangat nasionalisme terutama di kalangan kaum muda.
Tak lama kemudian perguruan serupa juga didirikan di banyak tempat, antara lain Far’ul Wathan di Gresik dan Malang, Akhul Wathan di Semarang, Hidayatul Wathan di Jombang. Semua dengan nama Wathan, yang berarti tanah air. Di sini betapa kaum muda tidak hanya dididik dengan ilmu keagamaan saja, tetapi rasa cinta tanah air sejak dini telah digelorakannya.
Selain itu, Mbah Wahab juga mendirikan Nahdlatut Tujjar, pada 1918, suatu wadah untuk menggerakkan potensi ekonomi para saudagar muslim khususnya. Dan pada 1919 didirikan pula Taswirul Afkar –yang berarti konsepsi-konsepsi atau potret pemikiran– sebagai wadah kajian untuk membahas berbagai persoalan keagamaan dan sosial kemasyarakatan atau kebangsaan.
Dapat dipahami, itu semua merupakan aktualisasi komitmen “kesantrian” Mbah Wahab, yang juga memainkan peran sebagai jembatan dengan kalangan kiai sepuh. Tentu, ada motif besar dibalik pendirian Nahdlatul Wathan –dan gerakan serupa hingga gagasan Syubbanul Wathan pada 1924 untuk menyatukan kaum muda– juga gerakan lainnya yang dipahami selama ini menjadi embrio lahirnya NU pada 1926.
“Apakah mengandung tujuan untuk menuntut kemerdekaan?” Tanya Kiai Abdul Halim dari Cirebon, saat menjelang didirikannya NU.
“Tentu. Itu syarat nomor satu. Umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka.” Jawab Mbah Wahab.
Ditanyakan lagi: “Apakah dengan usaha macam begini ini bisa menuntut kemerdekaan?”
Mbah Wahab pun tegas: “Ini bisa menghancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai negeri merdeka.”
–bersambung–
Kalisuren, 30 Juni 2021
Idham Cholid, Ketua Umum Jayanusa, tinggal di Wonosobo Jawa Tengah