Oleh: Amir Machmud NS
STADION Do Dragao, Porto, serasa menjadi “neraka jahanam” bagi Manchester City. Dan, Kai Havertz ibarat malaikatul maut yang menghalangi The Citizens untuk melangkah ke pintu sorga.
Justru Chelsea, dengan impresivitas permainan dan kedisiplinan konstan, yang “meraih sorga”. Pasukan Thomas Tuchel mampu menggoyang “iman” dan meluruhkan permainan indah Pep Guardiola. The Blues pun tak terbendung untuk meraih Liga Champions keduanya setelah 2012.
Bukankah seperti itu wajah manusia dan ayat-ayat kehidupan pada setiap peristiwa yang menghadirkan fakta menang dan kalah, yang melambung dan terempas, yang bahagia dan berduka…
Pertunjukan pemuncak Liga Champions tahun ini boleh jadi bukan laga yang sedahsyat duel klasik FC Porto vs Bayern Muenchen 1986, Manchester United vs Bayern Muenchen 1999, Liverpool vs AC Milan 2005, Barcelona vs Arsenal 2006, atau Barcelona vs Manchester United 2011; namun partai final di Do Dragao itu mengetengahkan elemen-elemen eksklusif kisah manusia-manusia sepak bola.
Setidak-tidaknya Anda bisa mencatat, industri kompetisi Eropa ini menjadi pusat pertarungan dua taipan yang berburu kesenangan dalam sepak bola, Roman Abramovich dan Syekh Mansour al-Suleymani. Kedua “saudagar” itu mengekspresikan hasrat sepak bolanya dengan nalar kuasa kegembiraan.
Dari sisi “ilmu” sepak bola, itulah cermin rivalitas pelatih yang meng-“iman”-i filosofi taktik sebagai sebuah ideologi. Thomas Tuchel dengan konsep soliditas kolektif pada seluruh elemen dalam menyerang maupun bertahan, sedangkan Pep Guardiola dengan doktrin penguasaan bola untuk mem-pressure lawan.
Mereka disatukan oleh titik yang sejatinya tak jauh berbeda. Baik Tuchel maupun Pep meyakini fokus transisional dalam mengendalikan permainan. Hanya, malam itu Tuchel mengeksplorasi komplemen sistem serangan balik cepat yang menghasilkan satu-satunya gol “pembunuh” City.
Dengan “tarian” yang mengecoh kiper Ederson, Kai Havertz ibarat membuka “pintu sorga” bagi Chelsea. Pemain 21 tahun yang pernah disebut-sebut sebagai “New Zidane” itu merupakan pembelian termahal Chelsea musim ini saat diboyong dari Bayer Leverkusen dengan harga 62 juta poundsterling.
Chelsea bagai menapak deja vu sembilan tahun silam. Ketika itu, Chelsea ditukangi pelatih sementara, Roberto Di Matteo, menggantikan Andre-Villas Boas yang dipecat di pertengahan musim. Bukankah posisi Tuchel mirip dengan Di Matteo? Pelatih asal Jerman itu, sejak Januari lalu meneruskan pekerjaan Frank Lampard yang diberhentikan.
Tuchel seperti diberkahi dengan mengantar Pasukan Stamford Bridge meraih trofi tertinggi Eropa. Gelar ini menjadi penebus kegagalan, setelah tahun lalu dia gagal mengantar Paris St Germain mengalahkan raksasa Bayern Muenchen di pertarungan pamungkas.
Sebaliknya, Pep yang digadang-gadang membawa trofi Liga Champions ke Etihad untuk kali pertama, kini diliputi realitas yang menegaskan kebergantungannya kepada sosok pemain besar seperti Lionel Messi. Sejak memberi gelar Eropa kepada Barcelona pada 2009 dan 2011, paling jauh dia sampai semifinal bersama Bayern Muenchen dan perempatfinal saat menangani City.
Momen kali ini sebenarnya menjadi kesempatan kepadanya untuk menghapus “kutukan” tak mampu berjaya di Eropa tanpa Messi. Dia bahkan disindir sebagai “Fraudiola”, pelatih yang hanya bisa juara bermodal pemain bagus. Penilaian yang juga muncul saat dia mengarsiteki Bayern.
Padahal, dia pernah merasa menemukan bakat hebat yang bisa lebih baik dari Messi. Phil Foden, gelandang muda yang ketika itu masih 17 tahun secara bertahap dipromosikan oleh Pep, dan musim ini sudah menunjukkan kapasitasnya. Hanya, untuk kubutuhan menaklukkan Eropa, rupanya Pep membutuhkan pemain dengan kompetensi setinggi Messi.
Efektivitas Bermain
Kekecewaan Pep dan para penggawa City bisa dimaklumi. Manchester Biru boleh dikata menjadi representasi utama sepak bola indah ala tiki-taka, setelah Barcelona kini tak lagi seindah racikan Pep. Di bawah sentuhan Ronald Koeman, Barca bermain pragmatis. Kecenderungan bergantung pada Lionel Messi juga tak bisa hilang.
Sementara itu, Tuchel mendoktrinkan efektivitas. Pep juga memuji keseimbangan permainan Chelsea, yang membuat alur serangan dari intensitas penguasaan bola Raheem Sterling dkk tidak mampu menembus labirin pertahanan lawan.
Tiga kali, dengan cara yang sama City kalah dari Chelsea-nya Tuchel selama enam pekan ini. Pertama, di semifinal Piala FA, dan kedua di pertandingan reguler Liga Primer. Dari tiga kekalahan itu, City yang secara dominan menguasai bola tidak mampu mengurai pertahanan disiplin Thiago Silva dkk.
Di lapis gelandang, N’Golo Kante kembali menunjukkan peran hebat seperti dalam momen-momen penting Chhelsea dan tim nasional Prancis. Legenda Chelsea Joe Cole sampai menyebut, semula dia mengira Claude Makelele adalah gelandang terbaik, ternyata Kante lebih baik. Ganjaran Man of the Match partai final, melewati apresiasi untuk Kai Havertz, dinilai pantas untuk performa N’Golo Kante.
Chelsea telah menikmati jerih payahnya. Thomas Tuchel telah membuktikan kapasitasnya. Pada sisi lain, Manchester City yang sejauh ini mulai memperlihatkan performa sebagai kanvas ideologi Pep Guardiola, kembali harus berjuang dari awal untuk membuktikan klaim sebagai “kiblat sepak bola indah”.
Nikmati, nikmatilah Kai Havertz. Dia adalah sejarah, “malaikat kecil” yang membuka pintu sorga. Dan, sekali lagi, seperti itulah ayat-ayat kehidupan…
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah