blank
Prihatin karena hama tikus yang menyerang lahan pertanian, Ki Sih Agung Prasetyo menggelar pentas wayang di atas galengan ( pematang) sawah  dengan tema “Donga Saka Sawah”. Foto: Yon

MAGELANG (SUARABARU.ID)-  Pentas wayang  yang dilakukan Ki Sih Agung Prasetyo asal Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ini lain dari pada lainnya. Yakni, di galengan (pematang) sawah yang sedang digarap oleh petani dusun setempat.

Pada pementasan tersebut, ia hanya membawa beberapa tokoh wayang kulit, seperti para tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong serta Buto Terong.

Selain itu, ia menampilkan beberapa tokoh wayang  serangga yang terbuat dari fiber, yakni tawon (lebah), walang ( belalang), gonteng (raja rayap). Sedangkan untuk gunungan ada dua satu terbuat dari kulit dan satu lainnya terbuat dari fiber.

Tidak ketinggalan ia mengikutsertakan lima penabuh gamelan untuk mengiringi pentas yang berjuluk  Donga Saka Sawah (doa dari sawah).

Cerita pentas wayang tersebu juga tidak bersumber pada epos Mahabarata yang biasa dilakonkan pada pergelaran wayang kulit biasanya .Melainkan, berisi edukasi bagi masyarakat terkait kondisi pertanian saat ini.

“Wayang serangga ini  ceritanya  terkait dengan lingkungan alam  pedesaan seperti masalah pertanian, lingkungan alam dan lainnya,” kata pria lulusan Fakultas Bahasa dan Seni program studi Bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Menurutnya, pementasan wayang serangga tersebut juga untuk mengedukasi masyarakat, utamanya para petani agar lebih peduli kepada lingkungan. Yakni, mengutamakan penggunaan pupuk alami daripada menggunakan pupuk kimia.

Selain itu, pentas yang dilakukan di pematang sawah tersebut juga sebagai bentuk keprihatinan atas nasib para petani yang  gagal panen akibat hama tikus dan burung yang merajalela.

“Maraknya hama tikus yang mengancam panenan milik petani ini, juga diakibatkan semakin punahnya predator hama,” ujarnya.

Ia berharap dengan pementasan di tengah sawah  sesuai dengan temanya”Donga Saka Sawah” tersebut,  kehidupan para petani kembali membaik dengan hasil pertanian yang kembali meningkat, sehingga tidak terjadi krisis pangan.

Agung menambahkan, sebelumnya beberapa waktu lalu ia mementaskan wayang serangga dengan judul “ Donga Saka Gunung” ( doa dari gunung).

Dalam pentas tersebut, ia menceritakan  berbagai macam bencana yang melanda tanah air tercinta, mulai gempa bumi, banjir, tanah longsor dan lainnya.

Menurutnya, tema-tema yang dibawakan saat pentas wayang serangga ini juga bisa sebagai sarana edukasi bagi anak-anak agar lebih mencintai alam  sekitarnya.

Tidak Nglangut

Sih Agung menjelaskan, pentas wayang tersebut dilakukan tidak sekedar untuk mengedukasi masyarakat tentang alam sekitarnya, tetapi juga  untuk mengisi waktu di tengah pandemi covid-19 yang belum juga berakhir.

“Sebagai seorang seniman, pandemic covid-19 yang berkepanjangan  sangat berpengaruh. Yakni, tidak ada tanggapan ( jadwal pentas),”  katanya.

Menurutnya, dengan pentas di tempat yang tidak lazim tersebut juga sebagai “obat rindu” pentas dan agar tidak nglangut di tengah pandemi seperti saat ini.

“Dengan pentas di tengah sawah, hutan atau sungai, merupakan obat rindu kami untuk bisa menyalurkan  jiwa berkesenian, meskipun tetap mematuhi protokol kesehatan,” imbuhnya.

Agung mengatakan, sebagai pekerja seni masih bisa berkarya meskipun di tengah aturan yang mengikatnya seperti PSBB, PPKM dan lain sebagainya, supaya kita tidak ngelangut.

Widiyas Cahyono