JAKARTA (SUARABARU.ID) – Penulis Simon Lindgren mengemukakan sebuah fenomena tentang masyarakat digital dalam bukunya “Masyarakat dan Media Digital”. Fenomena itu disebut trolling.
Lindgren sudah meneliti bahwa media sosial nanti akan menjadi alat bagi orang-orang untuk mengekspresikan produk pemikirannya untuk berbagai tujuan. Aktualisasi pikiran ini, mungkin pada masa lalu seperti menulis diari.
Hal mana, pesan komunikasi yang ditulis dalam diari tentu memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pemikiran orang yang menulis. Pesan dapat memperkuat atau mempersempit pemikiran orang yang melihat pesan tersebut.
Pada era digital, pesan komunikasi itu kini dapat ditransfer melalui ponsel pintar. Penulis pesan kini berharap yang melihat pesan mereka bukan hanya diri sendiri, melainkan juga dilihat publik. Publik yang melihat pesan itu tentu memiliki berbagai sudut pandang.
Trolling adalah salah satu cara yang digunakan penulis pesan untuk menarik berbagai sudut pandang berbeda tersebut untuk memantik interaksi yang bertentangan.
Menurut Lindgren, penulis pesan tersebut tidak menginginkan jawaban dari diskusi yang terjadi. Mereka hanya ingin berekreasi dan mencari kesenangan pribadi.
Ada dua karakteristik suatu komunikasi dapat dikategorikan trolling. Pertama, pesan itu digunakan sebagai wahana mendeskripsikan personaliti tertentu, misalnya orang atau lembaga.
Kedua, pesan itu digunakan sebagai alat untuk memancing reaksi tawa tak simpatik dan ambigu yang disebut Lindgren di dalam bukunya sebagai Lots of Laugh (Lulz).
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (27/10), I Gede Ary Astina alias Jrx SID mengatakan bahwa dirinya sengaja mengunggah pernyataan terkait dengan “Bubarkan IDI” di kolom komentar di Instagram agar mendapat respons dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Sengaja dengan harapan direspons. Jadi, saya tahu saya tidak mungkin bisa membuat IDI, jadi saya minta respons dari IDI. Karena sebelumnya tidak pernah direspons. Saya terpaksa memakai diksi yang sedikit nyeleneh (kacung) agar direspons karena ini masalah nyawa dan masalah bayi,” kata Jrx SID.
Jrx SID dalam unggahan foto di Instagram @JrxSID pada bulan Juni 2020 menulis “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19” tulis Jerinx kala itu.
Unggahan itu dilengkapi dengan caption “Bubarkan IDI saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini. Rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS? Tidak, IDI dan RS yang mengadu diri mereka sendiri dengan hak-hak rakyat”.
Jerinx juga mengemukakan tuduhan-tuduhan berikutnya dalam kolom komentar bahwa IDI melakukan ‘konspirasi’ memanfaatkan kasus COVID-19.
Dalam unggahan-unggahan tersebut, Jerinx memanipulasi pandangan publik mengenai IDI dengan pemikiran bahwa IDI sebagai objek yang melakukan konspirasi terkait dengan COVID-19.
Apa yang dikemukakan Jerinx dapat menimbulkan interaksi publik. Ini sebabnya di kolom komentar unggahan tersebut, ada yang mengejek Jerinx dengan mengatakan bahwa Jerinx kurang kerjaan seperti yang dikemukakan akun @shannenmisiliu.
“Bli, kalau menganggur sekali-sekali mampir. Kita diskusikan apa yang ada di pikiran Anda sebagai sosok yang sangat yakin bahwa ini semua adalah bisnis dan konspirasi,” tulis akun Instagram tersebut.
Namun, ada juga yang terpengaruh dengan pemikiran Jerinx sehingga mempertanyakan kebenaran penyakit COVID-19. Hingga kini, unggahan tersebut telah memperoleh ribuan komentar. Ada yang pro-Jerinx, ada pula yang kontra dengan penabuh drum grup band Superman Is Dead itu.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali dr. I Gede Putra Suteja mengatakan bahwa narasi dari unggahan akun terdakwa I Gede Ary Astina alias Jerinx itu dapat melemahkan semangat tenaga kesehatan. Dalam hal ini, dokter sebagai garda depan penanganan COVID-19.
“Kami ada dalam penanganan soal COVID-19 ini sedangkan postingan Jrx bisa selamanya dan beberapa hari sehingga menurunkan semangat kami. Kemudian, menuduh ini itu padahal adik-adik saya sudah bekerja sekuat tenaga. Dengan ada perkataan demikian membuat kami jadi lemah dan masyarakat tidak percaya dengan apa yang kita laksanakan di lapangan,” kata I Gede Putra Suteja saat ditemui usai mengikuti persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi di PN Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan bahwa akibat unggahan Jerinx itu, setiap unggahan dari hari ke hari muncul dengan anonim namun bentuk narasinya sama yaitu menjelaskan bagaimana organisasi dibilang kacung dan sebagainya.
Narasi-narasi itu dinilai tidak memiliki simpati kepada para dokter yang 8 jam memakai alat pelindung diri dan menahan diri untuk tidak bertemu keluarga beberapa hari.
Jerinx mungkin tidak bermaksud sampai sejauh itu. Namun, menurut Lindgren, apa yang ada di benak penyampai pesan sering berbeda dengan apa yang ada di benak masyarakat, dan akan sangat sulit mengontrol pemikiran-pemikiran ‘liar’ tersebut.
Namun, ada upaya yang harus dilakukan untuk membatasi pengaruh-pengaruh yang demikian buruk pada era digital.
Koordinator Gerakan #BijakBersosmed Enda Nasution mengatakan bahwa masyarakat pengguna media sosial harus sadar bahwa apa yang diucapkan di media sosial memiliki konsekuensi sosial dan hukum.
“Ucapan di medsos itu bukanlah tanpa konsekuensi, apakah itu konsekuensi sosial sampai hukum sehingga pengguna medsos juga harus tahu bahwa penyebaran kebencian bukan sekadar melanggar hukum, melainkan juga melanggar norma dan etika,” kata Enda dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis.
Menurut aktivis medsos dan blogger itu, banyak orang berani menyebarkan konten negatif, bahkan ujaran kebencian di medsos karena tidak melihat langsung reaksi lawan bicara.
Mereka lupa bahwa sebagaimana interaksi di dunia nyata, di dalam berinteraksi di dunia maya pun norma-norma tetap berlaku. Bahkan, Undang-Undang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE) pun memberikan sanksi pidana bagi pelanggarnya.
“Undang-undang ini untuk memberikan efek jera dan memberikan pembelajaran juga kepada masyarakat bahwa memang hal negatif yang dilakukan di medsos atau di dunia digital itu dilarang dan mempunyai konsekuensi hukum,” katanya.
Menurut Enda, masyarakat memang harus terus dididik untuk bijak bermedia sosial sekaligus turut aktif menjaga kenyamanan berinteraksi di media sosial.
Ia setuju ada siskamling medsos, yakni gerakan masyarakat memantau konten-konten negatif dan ujaran kebencian kemudian dilaporkan kepada pihak berwenang.
Namun, lanjut dia, gerakan ini juga harus diimbangi oleh pihak berwenang dengan mempermudah cara pelaporan dan menindaklanjuti dengan sungguh-sungguh laporan tersebut.
Sering kali karena tidak ada progres atau tidak ada feedback, kemudian banyak pemilik akun di medsos merasa bahwa apa yang sudah dilaporkan tidak ada pengaruhnya atau tidak ada tindakan lebih lanjut. Itulah, kata dia, yang membuat tidak semua orang mau melakukan siskamling medsos.
Ant/Muha