blank
Ilustrasi

Oleh: Amir Machmud NS

blank
Amir Machmud NS

SEDANGgregas-greges”. Istilah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai kehidupan bangsa Indonesia ini, kiranya tepat untuk menggambarkan kondisi yang “serbameriang” di banyak bidang.

Pandemi Covid-19 belum bisa diprediksi kapan menyurut dan berakhir. Perekonomian sangat terdampak di bawah bayangan resesi. Kehidupan di semua bidang, baik sosial, politik, pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, selama hampir setahun iniharus beradaptasi dengan pola perilaku baru, biaya, dan budaya.

Belum lagi letikan-letikan api politik yang menyulut bara akibat keputusan elite seperti dalam ontran-ontranpengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.

Terjadi anomali kehidupan yang bercampur aduk antara adaptasi perilaku, rasa putus asa, kemarahan, dan teknis penyampaian kebijakan pemerintah yang di sana-sini menunjukkan ketidaksinkronan lantaran dugaan adanya rivalitas kekuasaan. Misalnya, antara pemerintah pusat dengan Gubernur DKI Jakarta, atau antara Gubernur Jawa Timur dengan Wali Kota Surabaya.

Wartawan dan media jelas berada di tengah kepungan tarik-menarik kepentingan. Di tengah kondisi “meriang” seperti itu, sikap tepat seperti apa yang mesti digalang? Bagaimana seharusnya media memainkan peran seperti amanat Undang-Undang Pers untuk memberi informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial?

Agenda-agenda Kemaslahatan

Dalam buku Media, Narasi Kepemimpinan, dan Normal Baru (2020), saya menawarkan energitas plus media untuk membuat agenda-agenda kemaslahatan sosial. Pada bagian lain saya ketengahkan tentang visi sikap “media-negarawan”, yakni pilihan untuk mengedepankan semua potensi unggul bangsa yang menjadi pengikat rasa kebangsaan, meletakkan kepentingan bersama di atas segalanya sebagai idealita sajian pemberitaan. Pengikat itu merupakan pancaran pilihan sikap etis, berupa tanggung jawab sosial media.

Gubernur Ganjar Pranowo, ketika menerima audiensi Pengurus Harian PWI Provinsi Jawa Tengah 2020-2025 pada 13 Oktober 2020, mengimpikan hal yang sama lewat ungkapan mengenai narasi-narasi positif pemberitaan demi Merah-Putih.

Narasi positif itu bukanlah meniscayakan kooptasi yang bersifat “given” seperti dulu ketika pada rezim Orde Baru pemerintah memainkan tesis “interaksi positif” antara pemerintah, pers, dan masyarakat. Alur interaksinya bersifat monolog, dan media berada dalam ketidakseimbangan posisi tawar.

Substansi dari impian Ganjar berupa penguatan aksen informasi-informasi yang berbobot pencerahan, edukasi, pengetahuan, inspirasi, menumbuhkan optimisme, serta membangkitkan energi untuk menghadapi realitas penyesuaian dengan perilaku-perilaku baru akibat pandemi Covid-19.

Latar belakang gagasan narasi positif pemberitaan itu adalah realitas kehidupan dihampir semua bidang yang “meriang”, yang tak terhindarkan juga menerpa performa bisnis media. Posisi pemerintah, yang bagaimanapun punya kekuatan penganggaran, bisa dikolaborasikan sebagai energi yang memberi suntikan energitas kepada kehidupan media lewat kerja sama-kerja sama pemberitaan yang punya daya “saling menguatkan”.

Kemampuan Mem-“Visi”

Terjemah mempositifkan narasi pemberitaan tidak cukup sekadar tergambar pada bagaimana wartawan memilih diksi-diksi, melainkan lebih pada pembentukan kemampuan mem-“visi” sebuah isu publik. Mindset jurnalistiknya meliputi agenda-agenda kemaslahatan sosial.

Pemvisian isu sejatinya terposisikan lebih dari persoalan teknis framing yang dalam praktik menonjolkan sisi tertentu untuk men-setting opini. Pembingkaian itu, misalnya mewujud dalam keputusan pilihan sudut pandang, judul, penegasan lead, siapa yang dijadikan narasumber, dan empowering arah berita sudah terlebih dahulu ditentukan sebagai politik pemberitaan atas nama visi.

Lalu bagaimana posisi wartawan dan media dalam pem-“visi”-an penyajian isu-isu khusus?

Di sinilah narasi positif itu kita maknai. Geger unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, dalam standar awal berjurnalistik, bisa kita lihat dari aneka perspektif. Berbagai angle berpotensi menjadi kekuatan magnitude berita. \

Dari manajemen penanganan unjuk rasa oleh aparat keamanan dengan segala perniknya, membaca visi gerakan kritis mahasiswa, orang-orang atau kelompok yang hanya ikut-ikutan demo, sikap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sikap para rektor perguruan tinggi, pilihan sikap sejumlah dosen yang memberi dukungan moral kepada gerakan mahasiswa, gerakan organisasi-organisasi buruh, sikap represif pemerintah, sikap DPR, dan banyak sudut pandang lainnya.

Sudut pandang mana yang akan kita jadikan fokus? Misalnya, di tengah kebingungan mengenai mana naskah murni UU Cipta Kerja karena beredar beberapa versi, apakah bukan masalah serius ini yang terutama dijadikan angle? Visinya tentu, seperti apakah isi naskah yang benar? Di mana perbedaannya dengan naskah yang tidak asli? Mengapa sampai muncul dan beredar beberapa versi naskah? Pasal-pasal apa saja yang sebenarnya layak dipersoalkan?

Visi jurnalistik untuk mencari akar persoalan, yang dalam kasus UU Cipta Kerja diwarnai hoaks dan fake news, bisa membantu mengurai secara positif, bagian mana yang pantas dipersoalkan. Dengan demikian bagaimana relevansi pembentukan UU ini dengan tujuan kemaslahatan bersama?

Menemukan Akar

Narasi positif pemberitaan juga akan merevitalisasi visi sajian pemberitaan yang bertujuan mulia mencari dan menemukan akar persoalan. Harus digarisbawahi: bukan mencari-cari persoalan, karena kalau sekadar mencari masalah pasti tidak bakal menemukan akar persoalan.

Contoh, ketika ada tokoh dari otoritas pemerintahan yang menduga terdapat fenomena “peng-covid-an” pasien yang sebenarnya bukan penderita virus Corona, pendekatan pemberitaan seperti apa yang mesti dilakukan?

Dari permukaan, pastilah statemen tersebut berdaya tarik kuat, punya bobot isu yang berpotensi viral, karena memuat dugaan yang kontroversial. Namun dari kajian kemauan dan kemampuan mem-“visi” sebuah isu publik, bakal banyak pertimbangan yang bisa dijadikan bingkai kebijakan newsroom.

Apakah dugaan peng-covid-an itu memang berbasis data dan angka? Didapat dari manakah datanya: dari pengakuan atau laporan? Atau hanya sinyalemen dari kesimpulan-kesimpulaan? Atau, dugaan itu merupakan bagian dari poin evaluasi terhadap temuan manajemen penanganan pasien Covid-19?

Jika statemen itu memang diizinkan atau diniatkan untuk di-publish, tentulah sudah dipersiapkan banyak langkah untuk mem-follow up-i “dugaan” tersebut. Akan tetapi, apabila disampaikan hanya dari sebuah percakapan yang bukan pernyataan — misalnya lewat sebuah konferensi pers –, pastilah dibutuhkan kematangan dan sikap pruden wartawan untuk mempertimbangkan penyampaiannya.

Dari logika etis dan logika sosial, akan dipertimbangkan akibat-akibatnya apabila statemen tersebut dinarasikan semata-mata atas dasar pikiran untuk memviralkan berita. Dari jalan pikiran positif, kita pertimbangkan berbagai kepentingan strategis yang saling terkait dalam manajemen penanganan Covid-19, yang tentu tidak boleh terlukai oleh pernyataan-peryataan hanya atas dasar sinyalemen.

Sifat informasi yang edukatif, mencerahkan, memberi pengetahuan, menjauhkan pesimisme, membangkitkan optimisme dan menginspirasi, merupakan karakteristik model-model kemampuan media dalam mengembangkan narasi positif pemberitaan.Untuk sampai ke maqam itu, jelas dibutuhkan kematangan sikap dan visi.

Kemauan menggalang narasi positif ini pun tidak bisa secara dangkal ditafsiri sebagai fenomena kooptasi penguasa terhadap media, semata-mata atas nama kepentingan politik kekuasaan.

Ketika performa bisnis media rata-rata ikut terdampak situasi sulit ekonomi secara luas, maka gandeng tangan semua pemangku kepentingan hakikatnya adalah proses produktif ke arah kepentingan bersama, yakni memberi pencerahan dalam melawan Covid-19.

Jika terjadi proses simbiosis mutualisme dalam penyuntikan energitas performa bisnis perusahaan media, lalu media itu ikut mengembangkan narasi positif dalam pemberitaannya, maka sikap negarawan media itu secara langsung maupun tidak langsung pastilah membawa manfaat untuk sesama.

— Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah