JAKARTA, (SUARABARU.ID) – Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menegaskan berdasarkan investigasi independen yang dilakukan oleh lembaganya, sebelum adanya aksi 8 Oktober 2020 sampai hari ini, ditemukan ada indikasi keterpautan beragam kepentingan dan kelompok ‘pemain’ di balik unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
“Gelombang aksi penolakan UU Omnibus Ciptaker memunculkan tanda tanya. Apakah benar ini untuk kepentingan buruh atau ada pihak lain yang menunggangi aksi buruh,” kata Boni Hargens dalam keterangan tertulisnya, diterima di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan secara garis besar, ada dua kelompok yang terlibat dalam aksi 8/10 tersebut, dan yang juga akan bergabung dalam aksi lanjutan 13 Oktober 2020 dan aksi-aksi yang akan datang.
Pertama, kelompok buruh dan para aktivis yang ideologis ingin memperjuangkan kepentingan buruh. Mereka benar-benar mempersoalkan pasal-pasal yang menurut mereka berpotensi multitafsir, sehingga dalam perumusan peraturan pemerintah (PP) nanti ada potensi kepentingan buruh dikorbankan.
“Kelompok tipe ini tentu penting untuk diterima sebagai kritik dan saran untuk evaluasi dalam konteks judicial review jika itu dinilai perlu,” katanya.
Kedua, yaitu kelompok massa yang dimobilisir oleh oknum dari partai politik oposisi dan dari kelompok antipemerintah yang selama ini memainkan peran sebagai oposisi jalanan. Massa ini datang dari berbagai latar belakang.
Ada yang massa partai, massa ormas, dan bahkan ada kelompok pengacau yang biasa di kenal sebagai kaum “anarko”. Massa tipe kedua inilah yang kemarin dalam aksi 8/10 terlibat dalam aksi anarkisme, perusakan fasilitas umum, termasuk penyerangan terhadap aparat keamanan dari kepolisian.
“Kami tidak mempunyai otoritas untuk membeberkan identitas dari para penyumbang dana dalam aksi ini, karena itu wilayah hukum yang menjadi yurisdiksi kepolisian. Namun, apa yang dikatakan pemerintah melalui beberapa tokoh di pemerintahan, sungguh benar bahwa ada bandar yang mendanai aksi 8/10 dan aksi-aksi lanjutannya,” kata Boni.
Dia menyebutkan, ada kelompok partai yang ingin menaikkan popularitas untuk memastikan kemenangan dalam Pilkada 2020 dan persiapan Pemilu 2024.
Apalagi, lanjut Boni, kalau electoral threshold nanti dinaikkan ke 7 persen, maka partai oposisi ada yang terancam punah, mereka ini bekerja keras untuk mendegradasi citra partai pendukung pemerintah untuk menyelamatkan partai mereka dalam Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.
Selain itu, menurutnya lagi, ada kelompok lain yang adalah oposisi jalanan, mereka berkepentingan untuk menaikkan posisi tawar dalam rangka persiapan Pilpres 2024.
Jadi, ada banyak aktor yang bermain dalam aksi ini, tetapi sebagian besar tidak memikirkan kemaslahatan buruh, tetapi sekadar menjadikan isu buruh sebagai pintu masuk untuk menyerang pemerintah. Maka tidak mengejutkan sebetulnya ketika ada temuan di lapangan bahwa banyak peserta aksi tidak memahami pasal-pasal dalam UU Ciptaker yang menjadi alasan aksi itu ada.
“Mereka hanyalah massa mengambang yang dimobilisasi untuk menyerang pemerintah. Kelompok ini yang secara pragmatis direkrut dan dimobilisasi untuk terlibat dalam aksi anarkis,” demikian Boni Hargens.
Ant-Wahyu