blank

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME

Hari ini ada di antara kita orang yang takut untuk mengungkapkan ketakutannya terhadap Covid-19. Mereka takut karena akan dihantam dengan argumentasi “Takut itu kepada Allah”, atau “Hidup mati sudah ada yang atur”, hingga stempel “manusia lemah iman”. Ya, hari ini takut menjadi aib dan alasan bagi sebagian orang untuk mencela sesama.

Seorang teman bercerita bagaimana dia dikucilkan hanya karena tidak lagi melaksanakan salat Jumat selama pandemi. Dia takut jika berangkat ke masjid berpotensi menularkan infeksi kepada orang lain. Karena kebetulan teman saya ini seorang pegawai rumah sakit. Tapi konsekuensi apa yang dia dapat dari keputusannya?. Apalagi jika bukan stempel “manusia lemah iman”. Entah sejak kapan rasa takut kepada virus dijadikan parameter keimanan seseorang.

Apakah benar kita tidak boleh takut?. Kita akan menjawabnya dengan 2 cerita tentang “takut” yang dialami oleh Nabi Allah. Bukan dalam rangka ingin menyejajarkan diri. Tetapi bukti bahwa rasa takut adalah hal normal yang bisa terjadi pada siapapun. Sekaligus motivasi bagi orang-orang yang “lemah iman”.

Dalam surat Taha ayat 21, Allah berfirman: “Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Musa AS untuk memegang tongkat dan tidak takut kepada ular yang semula adalah tongkat yang biasa digunakan oleh Nabi Musa AS untuk bertumpu, digunakan untuk merontokkan daun-daun untuk makanan kambing beliau, dan juga manfaat yang lain.

Disebutkan dalam Tafsir Al-Munir bahwa ketakutan Nabi Musa AS adalah hal wajar yang terjadi pada seorang manusia yang takut kepada ular. Karena bisa ular dan bahaya lain yang ditimbulkan, karena beliau Nabi Musa AS belum pernah melihat hal serupa sebelumnya.

Berikutnya, dalam surat Az-Zariyat ayat 28, Allah berfirman: “Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak)”.

Ayat ini menceritakan ihwal kedatangan malaikat yang bertamu ke rumah Nabi Ibrahim. Sebagai tuan rumah yang baik, Nabi Ibrahim AS bersegera menyuguhkan jamuan terbaik yang beliau miliki, berupa sapi panggang.

Kemudian beliau mempersilahkan para tamunya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Nabi Ibrahim tidak tahu jika yang mampir adalah para Malaikat yang dikirimkan Allah untuk menghukum kaum Nabi Luth AS.

Nabi Ibrahim AS merasa takut karena tamunya tidak menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Nabi Ibrahim AS dan istrinya. Hingga akhirnya para tamu tersebut mengungkap identitas mereka dan memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim AS.

2 cerita ini setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa takut terhadap sesuatu yang mengancam adalah sesuatu yang normal, dan bisa terjadi terhadap siapapun, bahkan seorang Nabi yang memiliki atribut berupa mukjizat dari Allah.

Jadi, rasanya kita tidak perlu merasa takut untuk takut kepada Covid-19. Ancamannya nyata dengan bukti angka kematian (https://public.flourish.studio/visualisation/2562261/) yang cukup tinggi. Ancamannya nyata karena banyak negara di dunia yang bertekut lutut dan porak-poranda tatanan ekonomi dan sosialnya karenanya.

Sekali lagi ini bukan upaya menyejajarkan diri dengan para Nabi, tetapi ajakan untuk bijaksana dan menghormati keputusan saudara kita yang takut terhadap ancaman Covid-19.

(Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME. Ketua Bidang Syariah, Etik dan Hukum RSI Sultan Hadlirin Jepara).