6
Oleh Amir Machmud NS
//… membubung ke atas awan// bermahkota bunga-bunga// bidadari mengerumuni// dewa pun memanggilnya ke bumi// jadi buruan paling sexy// melanglang gagah// dengan harga merekah// hadirlah ke singgasanamu// di kerajaan camp nou…// (Sajak “Lautaro Martinez”, 2020)
DATANGLAH ke Camp Nou, kawan kecilku, dan kau akan menjadi pangeran di sana. Puja-puji Barcelonistas bakal mengelilingi hari-harimu yang indah, dan aku menjamin membantu membawamu lebih dari perjalanan di atas awan yang telah kau lalui bersama Nerazzuri di San Siro.
Seperti itulah kira-kira rayuan “maharaja” Barcelona, Lionel Andres Messi kepada kompatriot juniornya, Lautaro Martinez, di tengah spekulasi bursa transfer pada pengujung musim kompetisi 2019-2020 yang penuh komplikasi. Lautaro, di antara Kai Havertz, Timo Werner, dan Jadon Sancho adalah buruan paling “sexy”.
Momen seorang Messi menghendaki kehadirannya, seperti ketika meminta Neymar Junior kembali dari Les Parisiens, bukankah itu “sabda” bahwa Lautaro, yang memikat klub-klub besar dunia dalam dua musim ini, bakal sulit menolaknya?
Penyerang 22 tahun itu diproyeksikan sebagai suksesor untuk Luis Suarez, yang kini memasuki usia 33. Tandem paling efektif Messi itu memang merasa masih gagah, sehingga terkesan kurang nyaman dengan wacana mendatangkan secepatnya Lautaro, namun fakta tentang beberapa kali cedera menjadi salah satu argumen bahwa El Pistolero berhadapan dengan faktor alamiah usia.
Dari minat pelatih Quique Setien, juga pandangan sejumlah legenda Inter Milan, mencuat dua hal dengan pertimbangan sama kuatnya. Pertama, yang mengingatkan agar Lautaro tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, karena pindah ke Barca berarti harus siap untuk tidak selalu menjadi starter sepanjang Suarez masih bugar prima. Padahal di Internazionale dia mendapat jaminan sebagai pilihan utama bersama Romelu Lukaku.
Kedua, peluang bekerja sama dengan Messi terlalu sayang untuk dilewatkan. Pembentukan chemistry antarkedua pemain akan sangat bermanfaat bagi tim nasional Argentina. Di Barca pula Lautaro bisa merintis menjadi calon legenda seiring dengan La Pulga yang juga sudah merambati usia di atas kepala tiga.
* * *
KEPINDAHAN seorang pemain bintang atau calon bintang besar memang ibarat perjudian. Ketepatan memilih terkadang tak lepas dari perjalanan nasib dan keberuntungan. Bisa saja seorang pemain merasa mendapatkan “rumah yang nyaman”, menemukan ekosistem yang mampu menjadi pendukung pengembangan kemampuannya. Namun, simaklah sederet kisah pemain bintang atau wonderkid yang justru meredup, kehilangan pesona, terbanting kecewa, dan akhirnya berada dalam kegamangan menyusun masa depan.
Paul Pogba memutuskan “mudik” ke Manchester United setelah tampil cemerlang bersama Juventus. Tetapi apa yang kemudian dia alami? Selain faktor cedera, dia menghadapi kondisi psikologis yang menyebabkan bagai kehilangan magi. Ada atmosfer ketidakpercayaan lingkungan, yang membuat Pogba tak mampu mengeksplorasi kemampuan secara maksimal.
Sang artis Samba, Philippe Coutinho juga mengalami masa sulit yang tak terurai di Barcelona. Keputusan pindah dari Liverpool, yang telah memberinya singgasana sebagai “aristokrat” bergelar Little Magician, berproses penuh kontraksi.
Di Barca dia sulit berkembang, akhirnya malah dipinjamkan ke Bayern Muenchen. Nasib Cou masih menggantung. Bayern tak mau mempermanenkan statusnya, sementara belum jelas pula apakah Chelsea, Arsenal, atau MU mampu menebus dengan biaya mahal pelepasannya dari Barca.
Ada pula Antoine Griezmann. Ini dia bintang yang seakan berada di tirai abu-abu. Sebenarnya Grizou tak jelek-jelek amat menjadi pendamping Messi dan Suarez di lini penyerang Barcelona, namun nyatanya betapa sulit dia menemukan kenyamanan. Media-media masih terus menyorot kendala chemistry hati dengan Messi.
Kepindahannya dari Atletico Madrid bersamaan dengan kegagalan manajemen Barca memenuhi permintaan Messi agar memulangkan Neymar, menunjukkan seolah-olah Griezmann hanya “figuran”, bukan aktor utama. Gambarannya, bagaimana nanti posisi Grizou apabila Lautaro Martinez didatangkan?
Sebaliknya, kisah tepat memilih klub tergambar dari keputusan Erling Braut Halaand. Remaja 19 tahun asal Norwegia itu berani menampik pinangan MU untuk berlabuh di Borussia Dormund dari RB Salzburg. Nyatanya, di tengah perseteruan sang agen Mano Raiola dengan manajemen Old Traford, Halaand unjuk kehebatan untuk Die Borussen. Dari 11 laga, dia telah mencetak 10 gol dan satu assist.
Masih banyak kisah perjalanan spekulatif berwarna perjudian semacam itu. Hal yang jamak, tentu. Kapitalisme selalu mencari “pasar” dengan modus magnetisnya, juga rumor-rumor mediatika yang disadari atau tidak terkolaborasikan dengan setting kepentingan pasar media.
Dalam tiap klub selalu ada atmosfer dan ekosistem yang akan menciptakan semesta hati, juga semesta rasa bagi seorang pemain. Bukankah profesionalisme tidak berarti menepikan sejuta rasa hanya demi kuasa uang dan materi?
Lika-liku dalam gurita kapitalisme industri sepak bola pula yang cepat atau lambat akan membawa Lautaro Martinez ke Catalunya. Isu-isu adalah bumbu. Breaking news media adalah entakan pasar bebas. Running news adalah dinamika yang akan bersama-sama membawa orientasi bisnis ke arah titah pasar.
Sah-sah saja para analis mengklaim, di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini Barca terkendala ketersediaan uang untuk memboyong Lautaro yang berbanderol Rp 1,9 triliun, namun angka-angka bohay dalam kapitalisme sepak bola, pada titik tertentu justru menjadi awal untuk memancing gairah ketergerakan pasar.
Yang justru perlu disiapkan sekarang, saat Lautaro benar-benar tiba di Camp Nou, siapkah Setien dengan konsep skema yang mampu meledakkan seluruh potensi penyerang Barca? Barang tentu dengan pendekatan taktikal yang tidak membuat Griezmann, Suarez, dan Ousmane Dembele terpinggirkan…
Amir Machmud, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng