blank
Tasyakuran Hari Pers Nasional (HPN) 2025 tingkat Jawa Tengah yang digelar PWI Jateng di Gedung Pers, Jalan Tri Lomba Juang No 10 Semarang pada Senin (10/2/2025). Foto: PWI

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ada yang menarik dalam Tasyakuran Hari Pers Nasional (HPN) 2025 tingkat Jawa Tengah yang digelar PWI Jateng di Gedung Pers, Jalan Tri Lomba Juang No 10 Semarang pada Senin (10/2/2025).

Selain tumpengan dan doa bersama yang dipimpin Ketua MUI Jateng KH Ahmad Darodji, di ujung acara ada Sambung Rasa yang berisi sharing dari tokoh pers dan akademisi tentang dinamika kehidupan pers di masa lalu dan realitas di era kini.

Acara berbagi pengalaman ini dipandu oleh wartawan senior R Widiyartono yang dihadiri antara lain mantan Ketua PWI Soetjipto SH, serta tokoh pers Mas Soesiswo dan Kusnadi Ch yang di masa aktifnya mengajar ilmu-ilmu jurnalistik di perguruan tinggi.

Ada juga akademisi yang ikut memberikan warna bagi dunia pers, seperti Ketua Pembina Yayasan Alumni Undip, Prof Sudharto P Hadi MES PhD yang aktif sebagai penulis lepas dan dulu mengelola koran kampus, serta Dekan Fakultas Hukum Unissula Dr Jawade Hafidz SH MH yang menggagas Sekolah Jurnalistik bersama PWI Jateng.

”Kami sengaja bikin bincang-bincang ringan ini agar mendapat kisah inspiratif dari para sesepuh dan pimpinan kampus agar menambah wawasan bagi teman-teman wartawan,” kata Widi, di depan Pj Kadiskominfo Jateng Dadang Somantri, Bupati Blora Arief Rohman dan Ketua PWI Amir Machmud NS.

Soetjipto yang diberi kesempatan pertama bercerita, bagaimana dulu wartawan harus naik sepeda untuk bisa bertemu gubernur, bupati, atau kepala humas. Itu pun belum tentu ketemu.

”Kalau sekarang wartawan dimudahkan oleh perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Itu sebabnya isu-isu mutakhir bisa dengan cepat diakses. Saya setuju bahwa informasi yang diterima masyarakat tak semuanya akurat. Pesan saya kepada teman-teman wartawan, teknologi boleh berubah, sistem boleh berubah, tapi yang tak boleh berubah adalah kesetiaan pada Kode Etik Jurnalistik. Apa yang ditulis dan diberitakan, setidaknya memiliki dua hal yaitu tanggung jawab sosial dan kepentingan nasional,” katanya.

Berbagi pengalaman

Sementara mantan Rektor Undip, Prof Sudharto berbagi pengalamannya bagaimana dulu sebagai dosen tak bisa lepas dari media. Apalagi ketika itu pernah ikut menangani koran kampus Manunggal yang kini alumninya bekerja di sejumlah media besar.

Dia menulis di koran sejak tahun 1976. Ada rasa bangga bisa menuangkan gagasan di koran dengan tema beragam mulai lingkungan, olahraga dan sosial-politik. Itu artinya memberikan pengetahuan baru bagi pembaca.

”Tapi sesungguhnya saya menulis itu karena untuk mencari tambahan uang saku,” kata Prof Dharto yang disambut tawa hadirin.

Dalam kesempatan tersebut, Jawade Hafidz menyebut, pihaknya merintis agar sekolah jurnalistik agar mahasiswa fakultas hukum menguasai pengetahuan jurnalistik, terutama menulis karya ilmiah populer (opini) dan pendapat hukum.

”Harapannya kelak, mereka memiliki faktor pembeda saat lulus nanti. Mereka bisa cakap menulis tentang apa saja dan kami kira akan menambah tingkat daya saing mereka saat bekerja,” tandasnya.

Selain diikuti pengurus PWI, sambung rasa ini juga dihadiri anggota pembina Yayasan Alumni Undip Soeharsojo IPU, Rektor Universita Semarang Dr Supari ST MT, Rektor Unimus Prof Dr Marsrukhi MPd, dan para mitra kerja PWI.

Ning S