blank
Foto ilustrasi : DPR RI perempuan

Oleh :Sindi Novitasari

Pendahuluan

Kesetaraan gender dalam politik merupakan isu global yang terus menjadi perhatian banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satu indikator utama dari tercapainya kesetaraan gender adalah meningkatnya representasi perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan, terutama di parlemen. Sebagai institusi yang memiliki peran sentral dalam pembuatan kebijakan, parlemen harus mampu mewakili kepentingan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, kehadiran perempuan dalam parlemen dipandang sebagai langkah strategis untuk memperkuat keadilan dan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan.

Namun, realitas menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen masih berada pada tingkat yang rendah. Di Indonesia, meskipun telah diterapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, jumlah perempuan yang berhasil terpilih sebagai anggota parlemen masih belum mencapai angka ideal tersebut. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya mencapai sekitar 20,52% dari total anggota. Angka ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan representasi politik perempuan masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu segera diatasi.

Ada sejumlah faktor yang memengaruhi rendahnya representasi perempuan di parlemen. Pertama, masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat yang menganggap perempuan kurang layak memegang posisi kepemimpinan. Budaya ini tercermin dalam proses rekrutmen partai politik, di mana perempuan sering kali dihadapkan pada hambatan struktural dan kultural. Kedua, minimnya dukungan dari partai politik untuk mempromosikan calon perempuan. Partai politik lebih cenderung menempatkan perempuan pada nomor urut yang tidak strategis, sehingga peluang mereka untuk terpilih sangat kecil. Ketiga, terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya politik, seperti jaringan sosial, dukungan finansial, dan pengalaman politik, yang menjadi prasyarat penting untuk dapat bersaing dalam pemilihan umum.

Meningkatkan representasi politik perempuan di parlemen bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga terkait dengan kualitas pengambilan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam lembaga legislatif mampu menghadirkan perspektif yang lebih beragam dan inklusif dalam pembuatan kebijakan publik. Perempuan cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, meningkatnya jumlah perempuan di parlemen dapat berdampak positif pada perumusan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah dan lembaga legislatif perlu memperkuat kebijakan afirmasi, seperti kebijakan kuota dan pengawasan yang lebih ketat terhadap penerapannya. Selain itu, partai politik harus didorong untuk memberikan dukungan lebih besar kepada calon perempuan, baik dari segi pelatihan kepemimpinan, pendanaan, maupun penguatan kapasitas politik. Upaya kolaboratif dengan organisasi masyarakat sipil juga penting untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya representasi perempuan di parlemen.

Berdasarkan uraian di atas, penting untuk terus mendorong penguatan representasi politik perempuan di parlemen. Tanpa partisipasi yang setara dari perempuan, pengambilan keputusan di parlemen berisiko tidak mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh tantangan dan peluang dalam upaya meningkatkan representasi perempuan di parlemen, serta memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk mendorong kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan politik.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan analisis deskriptif. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan anggota parlemen perempuan, aktivis gender, dan perwakilan partai politik. Selain itu, data sekunder dikumpulkan dari dokumen kebijakan, laporan lembaga internasional, serta literatur akademik terkait representasi politik perempuan. Wawancara bertujuan untuk menggali pengalaman dan pandangan para informan mengenai hambatan, peluang, serta strategi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Teknik analisis data dilakukan melalui proses pengelompokan tematik yang berfokus pada identifikasi faktor-faktor penghambat dan pendorong representasi perempuan di parlemen. Data yang diperoleh dari wawancara dan dokumen dianalisis secara kualitatif untuk menemukan pola dan tema yang relevan. Hasil analisis ini kemudian digunakan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan dan partai politik.

Pembahasan

(a)     Hambatan Representasi Perempuan Dalam Parlemen

Hambatan representasi perempuan di parlemen disebabkan oleh beberapa faktor struktural dan kultural. Struktur patriarki yang mengakar dalam sistem politik dan masyarakat menghalangi perempuan untuk mengakses posisi kepemimpinan. Sistem patriarki ini mempengaruhi pola pikir dan budaya sosial yang menganggap bahwa peran perempuan lebih cocok di ranah domestik daripada di ranah publik. Akibatnya, perempuan sering kali kurang didukung oleh lingkungan sosial mereka sendiri untuk terjun ke dunia politik.

Proses rekrutmen partai politik juga menjadi hambatan signifikan. Meskipun kebijakan kuota 30% perempuan telah diterapkan, partai politik sering kali tidak memberikan dukungan penuh kepada calon perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan ditempatkan di posisi yang tidak strategis dalam daftar calon legislatif, sehingga peluang mereka untuk terpilih sangat kecil. Hal ini diperparah oleh bias gender yang masih ada dalam proses seleksi internal partai politik.

Selain itu, kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya politik juga menjadi kendala utama. Sumber daya politik meliputi akses terhadap jaringan sosial, dukungan finansial, dan pengalaman politik. Banyak perempuan yang memiliki keterbatasan dalam hal pendanaan kampanye, yang merupakan faktor penting dalam kontestasi politik. Minimnya jaringan sosial yang mendukung pencalonan perempuan juga membatasi akses mereka ke informasi dan peluang strategis dalam dunia politik. Akibatnya, perempuan lebih sulit untuk bersaing secara setara dengan laki-laki dalam pemilihan umum.

Hambatan-hambatan ini menciptakan situasi di mana perempuan kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan politik. Hal ini berdampak pada terbatasnya keragaman perspektif dalam kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan isu-isu yang lebih relevan bagi perempuan, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, dan perlindungan sosial. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi hambatan ini perlu melibatkan reformasi kebijakan di tingkat partai politik dan penguatan kebijakan afirmasi yang lebih efektif.

(b)     Strategi Peningkatan Representasi Perpempuan Di Dalam Parlemen

Representasi perempuan di parlemen merupakan salah satu indikator penting dari keberhasilan demokrasi dan keadilan gender. Meskipun berbagai negara, termasuk Indonesia, telah mengadopsi kebijakan afirmatif, tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif masih relatif rendah. Partisipasi perempuan di parlemen tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kuota keterwakilan, tetapi juga memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan politik yang lebih inklusif. Oleh karena itu, strategi yang efektif diperlukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

  1. Urgensi Representasi Perempuan di Parlemen

Peningkatan representasi perempuan di parlemen memiliki beberapa urgensi, di antaranya :

(a)     Keadilan Gender: Representasi perempuan merupakan bagian dari upaya menghapus ketidaksetaraan gender di bidang politik.

(b)     Diversifikasi Perspektif: Kehadiran perempuan di parlemen memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih beragam dan inklusif.

(c)     Mewujudkan Kebijakan Pro-Perempuan: Perempuan di parlemen cenderung memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.

(d)     Memenuhi Target Internasional: Salah satu tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di semua tingkat pengambilan keputusan, termasuk parlemen.

  1. Tantangan Peningkatan Representasi Perempuan Di Parlemen

Beberapa tantangan utama yang menghambat keterwakilan perempuan di parlemen adalah:

(a)     Budaya Patriarki: Budaya yang menganggap politik sebagai “dunia laki-laki” membuat perempuan kesulitan memasuki ranah politik.

(b)     Stigma Sosial: Perempuan kerap menghadapi stereotip negatif yang meragukan kemampuan mereka dalam memimpin atau membuat kebijakan.

(c)     Dukungan Keluarga dan Lingkungan: Minimnya dukungan dari keluarga dan lingkungan membuat perempuan enggan terjun ke dunia politik.

(d)     Keterbatasan Sumber Daya: Banyak perempuan yang kesulitan mengakses sumber daya finansial dan jaringan politik yang diperlukan untuk mencalonkan diri.

(e)     Minimnya Partai Politik yang Berperspektif Gender: Partai politik memainkan peran penting dalam mencalonkan kandidat perempuan, tetapi banyak partai yang belum memiliki kebijakan afirmasi yang memadai.

  1. Strategi Peningkatan Representasi Perempuan di Parlemen

Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan strategi yang terencana dan efektif. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen:

(a)     Penerapan Kebijakan Afirmasi (Quota Gender)

Kebijakan afirmasi merupakan langkah konkret untuk memastikan keterwakilan perempuan di parlemen. Di Indonesia, kebijakan kuota 30% perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg) diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.

Langkah-Langkah Implementasi:

  1. Memperketat Pengawasan Daftar Caleg: Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan bahwa partai politik mematuhi aturan kuota 30% perempuan di daftar calon legislatif.
  2. Sanksi bagi Partai yang Melanggar: Memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak memenuhi kuota gender dalam daftar caleg mereka.
  3. Pemantauan dan Evaluasi: Lembaga pengawas independen, seperti LSM atau lembaga pemerhati gender, dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan afirmasi.

Dampak Positif:

  1. Meningkatkan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif.
  2. Membuka ruang politik yang lebih luas bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
  3. Penguatan Peran Partai Politik yang Berperspektif Gender

Partai politik memainkan peran strategis dalam mencalonkan kandidat perempuan. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah konkret dari partai politik untuk meningkatkan peran perempuan dalam politik .

Langkah-Langkah Implementasi:

  1. Meningkatkan Kesadaran Gender di Internal Partai: Partai perlu mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan internal dan kegiatan kaderisasi.
  2. Menciptakan Program Kaderisasi Khusus Perempuan: Melalui pelatihan kepemimpinan, politik, dan advokasi bagi calon legislatif perempuan.
  3. Menyediakan Dukungan Finansial dan Logistik: Partai politik harus memberikan dukungan finansial dan logistik bagi perempuan yang mencalonkan diri.

Dampak Positif:

(a)     Meningkatkan jumlah perempuan yang terlibat di tingkat partai politik, sehingga mereka lebih siap mencalonkan diri di parlemen.

(b)     Memperkuat posisi perempuan dalam struktur partai politik.

Kesimpulan

Peningkatan representasi perempuan di parlemen memerlukan pendekatan yang komprehensif dan strategis. Strategi yang dapat diterapkan mencakup penerapan kebijakan afirmasi (kuota 30%), penguatan peran partai politik, peningkatan pendidikan dan kesadaran gender, dukungan keluarga dan lingkungan, serta penguatan regulasi dan kebijakan. Jika strategi ini dilaksanakan secara efektif, maka jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen dapat meningkat. Hal ini akan memperkuat kualitas pengambilan keputusan di parlemen serta mewujudkan keadilan gender dalam sistem politik. Kesuksesan strategi ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga pengawas pemilu, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Dengan representasi perempuan yang lebih baik, kebijakan yang dihasilkan akan lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua kelompok masyarakat.

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura