Oleh Marjono
SECARA umum menjelang perayaan natal 2023 dan tahun baru 2024, aneka belanja meningkat. Acap tak mengukur diri berapa penghasilan dan pengeluarannya. Pendeknya, penting punya gebyar baru, mewah dan beda.
Meski ekonomi masyarakat belum sepenuhnya baik-baik saja. Bahkan tak punya uang pun dicari-cari, entah top up bank, pinjam kawan, ngutang mertua, menggadaikan gadget, dan sebagainya.
Iklim demikian menjadi kian subur kala berlangsung iming-iming lewat agenda dikon besar-besaran dalam belanja virtual atau online yang acap berdiskon hingga 99 persen Model ini dianggap menjadi bagian cara warga untuk punya barang berkelas, mewah dan pokoknya ganti suasana.
Suka tak suka, flash sale bertebaran. Bagi yang sepakat, maka kemudian medio flash sale merupakan kesempatan mendapatkan barang murah namun tetap berkualitas, sementara mereka yang tidak setuju lebih berdalih agenda flash sale menyorongkan kepada pola konsumtif yang nyaring. Inilah madu bagi sebagian kalangan.
Menghadapi agresi flash sale ini, masyarakat penting didorong untuk cakap memilih produk yang akan dibeli. Tak menutup kemungkinan, flash sale acap hanya berlidung di balik gengsi atau sekadar merubah status di androidnya. Jadi bukan lagi menyangkut kebutuhan tapi kembali ke aras keinginan.
Masifnya flash sale banyak dipengaruhi oleh gegap gempitanya e-comerce dan marketplace di negeri ini. Sekarang hampir semua aktifitas manusia bisa dilakukan dengan virtual atau berbasis internet dan android. Hadirnya dunia on line sekurangnya juga menjadi “pasar lain”, bagi hampir semua produk UMKM kita.
Era digital, seolah menjadi surga tersendiri bagi kaum muda kita. Kadang seluruh waktunya habis bersama internetnya, bahkan kepentingan MCK pun aktivitas berinternet tetap jalan. Masa-masa usia demikian sedikitnya menjadi musim pencarian jati diri.
Tak sedikit kaum remaja ini menjadi sasaran empuk pergerakan flash sale. Tak ayal anak muda berburu barang atau produk yang mungkin dianggap unik, ori dan murah. Maka kesempatan flash sale tak boleh terlewatkan. Bagaimana caranya minta uang kepada orangtuanya dengan cara apapun untuk menaklukkan hati orang tua.
Loudondan Bitta (1984) mengungkap, bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif, karena kelompok ini suka mencoba hal-hal yang dianggap baru.
Ciri-ciri perilaku konsumtif remaja dapat dilihat dari ciri-ciri pembeli remaja, seperti mereka amat mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk iklan, terutama pada kerapian kertas bungkus (apalagi jika dihiasi dengan warna-warna yang menarik).
Tidak berpikir hemat, kurang realistis, romantis, dan mudah terbujuk (impulsif) (Astasari & Sahrah, 2006).
Sasaran lain, perempuan dinilai lebih konsumtif karena lebih menggunakan rasa emosional dan menyukai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan. Hadipranta (dalam Nashofi, 1991) mengamati bahwa wanita mempunyai kecenderungan lebih besar untuk berperilaku konsumtif ketimbang pria.
Model marketing ala flash sale dengan segenap iming-imingnya menjadi sang penggoda genius, bikin magnet baru sekaligus ikon baru anak-anak muda bahkan kaum perempuan yang bisa jadi juga gampang merogoh koceknya tanpa berpikir jauh, sehingga sering tak terasa rekeningnya menipis hanya untuk menebus syahwat belanja online via flash sale. Ketika sudah tergoda dan terkena adu rayu aneka diskon, maka kemudian jelas membuat lebih banyak pengeluaran atau boros. Hanya demi dan biar dianggap keren, borju dan “aku,” banget.
Tak terhindar, promo flash sale membawa seseorang kerap membeli sesuatu diluar kebutuhannya. Menurut Lina dan Rosyid (1997) salah satu aspek perilaku konsumtif adalah pembelian yang impulsif. Pembelian yang impulsif merupakan salah satu faktor seseorang menjadi konsumtif terhadap promo flash sale yang ditawarkan.
Kegenitan
Stylish mewah, parlente, makan enak dan sok jadi bos menjelma satu kegenitan kaum muda kita, termasuk terperosok ke dalam kubangan flash sale. Mereka memilih gebyar ketimbang memilah produk, mereka pilih cepat ketimbang antre, dan mereka pilih praktis ketimbang berdesakan, juga mereka pilih elegan hanya dengan satu kartu, misalnya semua beres.
Berburu wah dan kemewahan melalui flash sale, dengan harapan membuat riang, fresh dan semangat, berbalik menjadi moment yang murung dan menegangkan, karena kalau kita sudah tak bisa mengendalikan pengeluaran dana, maka bisa-bisa kita hanya akan tersedan dan menyesali diri. Mengerogoti tabungan dan bisa saja jadi dikejar-kejar tagihan pinjol ilegal hingga barang-barang hasil dari flash sale dijual lagi untuk sekadar menyambung hidup. Titik ekstrem inilah yang acap kita sebut racun.
Keinginan mesti direndahkan dan mesti menomorsatukan kebutuhan. Selain itu, skala prioritas menjadi penting dilakukan untuk mengerem pengeluaran ekonomi kita, juga dengan tak terlibat di flash sale pun kita tetap akan survive.
Hal lain yang perlu disiapkan adalah membudayakan menabung sebagai dana cadangan mendadak dana tau kepentingan masa depan.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan nilai transaksi Rp25 triliun pada gelaran Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2023 yang diselenggarakan pada 10-12 Desember 2023. Target ini meningkat dibandingkan capaian Harbolnas 2022 yang tercatat sebesar Rp22,7 triliun.
Harapannya, terjadi kenaikan volume dan nilai transaksi, khususnya produk lokal serta adanya efek berganda sehingga selain dapat mendorong peningkatan penjualan produk dalam negeri, namun juga mendorong peningkatan sektor transportasi dan logistik, dan sektor terkait lainnya
Selain rush flash sale yang tinggi, kini di pasar tradisional maupun transaksi konvensional lainnya pun juga acap memberlakukan serupa banting harga. Penting kita berlaku cermat, menyesuaikan kebutuhan dan budget. Ada(kah) yang lebih tabah dari hujan flash sale? Makanya, jangan besar pasak daripada tiang.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah