blank
Ilustrasi. Foto: gerd altmann/pixabay

Catatan: Hendry Ch Bangun

blankSEBERNARNYA saya ingin puasa menulis di bulan Ramadan ini, karena takut ghibah. Sederhananya ghibah itu membicarakan orang lain tanpa kehadirannya. Bila diperluas orang lain itu bisa jadi pihak lain, kelompok lain, lembaga lain dst. Ghibah juga bisa berbentuk tulisan, tentu saja, entah itu di media massa atau media sosial. Keinginan absen itu gagal, karena banyak sekali hal yang merangsang untuk ditulis, salah satunya fenomena di media siber dan media sosial.

Saat menulis sering secara tidak sengaja kita membawa-bawa pihak lain, orang lain. Mungkin maksudnya untuk memperjelas, memberikan contoh, menggambarkan. Padahal kalau tergolong ghibah maka dosanya amat besar. Diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri. Melakukan itu di bulan suci, mengerikan sekali karena kita sedang berupaya menahan diri dari dosa kecil eh ternyata malah melakukan kesalahan besar.

Satu hal dulu, wartawan yang telah bekerja puluhan tahun pastilah sudah terbentuk watak yang kritis dan memandang sesuatu dengan skeptis. Curiga, tidak mudah percaya, mempertanyakan, mencoba melihat dari sisi negatif, otomatis muncul kalau ada peristiwa dengan tujuan untuk menyeimbangkan informasi yang datang dari pihak lain.

Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, wartawan yang serba maklum dan langsung percaya. Kalau ada press release, pasti dicek dari sumber lain, bagaimana duduk perkaranya. Bila ada kabar burung pelantikan seseorang, semua kontak akan dihubungi, agar ketika peristiwa itu terjadi, informasi yang diperoleh sudah komplet dari semua arah. Ini berpotensi ghibah.

Sifat dasar ini akan terus terbawa di luar pekerjaan. Dalam berbagai perannya di masyarakat, di lingkungan sosial, ataupun organisasi, kecenderungan kritis, mempertanyakan, tidak mudah percaya, salah satunya pastilah muncul. Selalu ada dinamika, membuat situasi rapat misalnya menjadi ramai, yang memunculkan gagasan-gagasan positif. Dari sisi ini maka kalau ada lembaga yang memasukkan wartawan menjadi pengurus dengan tujuan agar komunikasi dengan pihak luar menjadi mudah, itu hanya separuh benar. Ia menghidupkan organisasi.

* * * * *

Soal ghibah ini, saya ingat rekan Ilham Bintang pernah mengundang KH Said Aqil Siradj ke kantor PWI Pusat, agar memberi pemahaman yang benar kepada rekan pengurus. Konteksnya, PWI memberi pengakuan status wartawan kepada mereka yang meliput entertainment, dengan maksud agar mereka diberi bekal kode etik jurnalistik. Karena kebanyakan beritanya bersifat gosip tentang artis dan lingkungannya, maka perlu pemahaman mana batas boleh dan tidak, agar tidak terjebak ghibah. Di sisi lain, rambu etika dan moral wartawan untuk memproduksi berita di media massa hanyalah Kode Etik Jurnalistik.

Secara umum KH Said Aqil Siradj menjelaskan, ghibah itu intinya membicarakan orang lain.

”Kalau faktanya benar bagaimana Pak Kyai?” ”Tetap ghibah,” jawabnya mantap.

”Walaupun dikonfirmasi?” ”Ya ghibah.”

Maka buntulah upaya wartawan yang hadir untuk mendapatkan kompensasi agar boleh membuat berita yang nyerempet-nyerempet gosip. Tentu saja tidak ada larangan, itu hanya rujukan, silakan pikirkan dan keputusan ada di tangan sendiri.

Entah karena menjalankan pekerjaan sesuai panduan dari kantor atau karena keyakinan akan profesinya, sajian media entertainment di media cetak maupun penyiaran, tidak berubah walau sempat beberapa saat sesuai kode etik jurnalistik. Karena faktanya, berita “baik-baik” tentang artis kurang menjual, tidak merangsang untuk ditonton, dan ada penurunan rating (waktu itu). Sempat tobat akhirnya kembali kumat.

Kondisi sekitar 10 tahun lalu itu kini berubah atau berbeda. Bukan lagi media entertainment yang menjadi raja dari segala gosip tetapi media siber dan media sosial yang dimirip-miripkan media massa. Saya sebut dimirip-miripkan karena memang cara memberitakan tidak mencerminkan sifat media massa yang paling dasar, berimbang, konfirmasi, tidak beropini sendiri.

Membaca media siber ini ya seperti membaca press release sebenarnya karena beritanya satu arah. Ada orang kirim pendapatnya tentang satu hal, dimuat. Lalu muncul pendapat dari arah lain, muat lagi. Sekali menuding satu pihak, berikutnya menuding pihak lain. Ada yang bilang media begini seperti keranjang sampah, apa saja informasi ditampung lalu dimuntahkan. Tidak ada upaya mendudukkan persoalan, menyeimbangkan informasi, malahan menambah rumit agar audiensnya penasaran dan mengklik terus.

Ciri berikutnya tentu saja judul yang mencolok atau menohok atau apalah, silakan simpulkan. Saya jadi teringat dosen saya dulu di mata kuliah Komposisi, Gorys Keraf, yang setiap saat mengingatkan istilah “kata kunci”. Artinya di setiap kalimat ada kata kunci, inti dari kalimat itu, yang berguna untuk memahami apa pesan yang ingin disampaikan.

Sementara di media mirip media massa di atas, kata kuncinya adalah kata yang paling mudah untuk menjadi ghibah. Menjadi gosip, agar segera disantap audiens yang memang sudah lapar untuk membaca kabar “miring”. Padahal asupan informasi seperti itu sebenarnya memberi dampak negatif bagi si audiens. Ibaratnya, kalau biasa makan makanan busuk, sudah tidak enak menyantap makanan segar atau higenis. Mengerikan.

Lebih miris lagi, masyarakat yang kurang bisa membedakan media massa dan media mirip media massa, akan menyimpulkan begitulah wajah pers di Indonesia. Tidak ada bedanya dengan media sosial. Lama-lama tingkat kepercayaan akan merosot, meski media berkualitas berjuang mati-matian untuk bertahan di tengah himpitan pendapatan berkurang, biaya operasional naik, dan generasi muda kian menjauhi media konvensional.

* * * * *

Media sosial di bulan Ramadan berjalan sebagaimana biasanya. Bussiness as usual. Sumpah serapah, cari maki, kata-kata kotor, masih hadir, khususnya mereka yang menjadikan medsos sebagai lahan cari makan atau cari identitas diri. Walau di sisi lain, asupan rohani yang sejuk, mengingatkan agar berbuat baik, yang mengetuk hati untuk membantu sesama, juga gencar di berbagai platform. Ibarat lalu lintas, mirip jalan tol. Ada yang setia di jalurnya meski macet, ada yang ambil jalur haram atau menggunakan lampu berkilau-kilau, strobo, karena merasa dirinya paling berhak untuk cepat.

Sebagaimana pernah dilontarkan wartawan dan sastrawan Mochtar Lubis, kita ini memang bangsa munafik. Tahu apa yang benar, tahu aturan, mengritik orang yang melanggar aturan yang ada, tetapi kita sendiri melanggarnya juga. Di rumah, di depan tetangga, bertampang saleh. Di jalan raya, di media sosial menjadi manusia garang yang bertindak sesukanya.

Posisi sebagai wartawan membuat kita sulit. Memproduksi berita yang sesuai kode etik jurnalistik saja masih berpotensi ghibah, artinya kita harus serba awas, super hati-hati agar informasi yang kita ingin sampaikan dalam bentuk berita, aman dunia akhirat. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan hati wartawan muda, yang bersemangat melakukan kontrol sosial, menghantam korupsi dan penyalahgunaan jabatan, menghajar nepotisme, menghajar pejabat yang tamak dst. Tetapi untuk mengingat, bahwa profesi wartawan itu mulia, yang hasil kerjanya bisa dipertanggung-jawabkan lahir dan batin, perlu terus mengasah diri agar makin terampil.

Tentu tidak mudah. Mumpung masih Ramadan, ada baiknya kita sesekali refleksi diri, untuk menemukan titik temu hati nurani dan profesionalisme, kedudukan sebagai makhluk-Nya yang tunduk dan tuntutan pekerjaan yang duniawi. Merenung itu penting dan perlu.

Wallahu a’lam bisawab.

Ciputat 13 April 2023

Hendry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022