blank
Dominik Livakovic. Foto: fifa

Oleh: Amir Machmud NS

blankDRAMA “tos-tosan” adu penalti menyuguhkan kepada kita batas tipis antara kepedihan dan kegembiraan. Dan, begitulah sepak bola seperti “tak berperasaan” dalam mencari solusi menentukan pemenang dari sebuah pertandingan yang buntu.

Baru saja berlalu, Jepang. Ketersingkiran yang getir dari Kroasia di babak gugur 16 besar, seperti sedu-sedan yang juga dirasakan Samurai Biru di Afrika Selatan 2010 ketika mereka tersisih dengan cara serupa dari Paraguay.

Dan kini, Brazil. Favorit juara yang baru tiga hari sebelumnya “berkarnaval” menari-nari merayakan kemenangan 4-1 atas Korea Selatan, akhirnya dibuat kuyup dalam tangis oleh Kroasia. Berikutnya, Belanda, menyerah lewat cara yang sama dari Argentina.

Drama-drama menyesakkan di satu pihak, dan buncah kegembiraan di sisi lain, mewarnai Qatar 2022 sebagai bagian dari warna-warni pertunjukan. Kita boleh menyebutnya sebagai eksotika, atau melabeli sebagai petaka.

Vatreni — julukan Kroasia — pun meneguhkan predikat sebagai “Raja Adu Penalti Piala Dunia”. Tim dari negeri pecahan Yugoslavia ini selalu melahirkan pahlawan hebat, seperti ketika mereka memenangi dua drama penalti di Piala Dunia 2018. Ketika itu, berkat ketangguhan kiper Danijel Subasic, Kroasia menundukkan Denmark, lalu Rusia di babak gugur.

Kali ini, pahlawan itu bernama Dominik Livakovic. Kiper Dinamo Zagreb itu meredam dua algojo Brazil, Rodrygo dan Marquinhos. Dalam 16 besar, dua penendang Jepang, Takumi Minamino dan Kaoru Mitoma dimentahkannya.

Memorabilia Piala Dunia
Adu penalti menjadi bagian dari memorabilia Piala Dunia. Peristiwa penentu itu selalu melahirkan pahlawan dan pecundang, lembar yang tak henti dikisahkan dari waktu ke waktu, dari Piala Dunia ke Piala Dunia.

Bahkan para pemain top pun tak sedikit yang merasakan “aura” drama ini dan menjadi korban kegagalan. Dari Michael Platini, Socrates, dan yang paling legendaris adalah Roberto Baggio di Piala Dunia 1994.

Baggio bahkan sempat seperti “terhukum” yang memikul kesalahan utama kekalahan Italia dari Brazil dalam final 1994, padahal sejatinya dari satu babak ke babak gugur “Si Malaikat Berkuncir” itu adalah pahlawan yang menyelamatkan Squadra Azzurra. Juga kenyataan yang seolah-olah terbenam bahwa yang gagal dalam adu penalti itu adalah juga Franco Baresi dan Danielle Massaro.

Kepahitan serupa juga dialami Stuart Pearce dan Chris Waddle, dua eksekutor Inggris yang gagal membobol gawang Jerman Barat di semifinal Piala Dunia 1990. Pearce bahkan membutuhkan waktu lama untuk bangkit dari trauma mengerikan lantaran momen tersebut.

Tak Melulu Teknis
Adu penalti bukan momen yang “text book”. Drama ini memaparkan fakta, betapa kemampuan teknis saja tidak cukup untuk menaklukkannya. Dibutuhkan mentalitas kuat, sikap “cool”, dan keyakinan.

Di luar kisah adu penalti, simaklah catatan Paul Breitner, yang menyamakan gol Jerman Barat dalam final Piala Dunia 1974 melawan Belanda. Dia diyakini sebagai figur dengan mental kokoh untuk momen semacam itu. Di babak reguler, dalam posisi Jerman tertinggal 0-1 lewat gol penalti Johan Neeskens, Breitner menghukum gawang Jan Jongbloed lewat eksekusinya yang dingin. Der Panzer akhirnya memenangi laga dengan 2-1.

Penalti di babak reguler — walaupun “pertanggungjawabannya” tak kalah besar dari momen adu penalti –, nyatanya juga membutuhkan “nyali” tersendiri. Platini, Zico, Diego Maradona pernah gagal. Lionel Messi pun mengalaminya ketika Argentina mengalahkan Polandia di Qatar 2022 ini.

Artinya, cekaman mental tetap saja ada. Padahal Messi dikenal sebagai pemain dengan skill penalti prima, termasuk dengan “teknik Panenka”. Untuk teknik yang dikembangkan oleh pemain Cekoslovakia Antonin Panenka di Euro 1976 ini, Leo Messi berjajar dengan Sergio Ramos, Zlatan Ibrahimovic, Zinedine Zidane, Omar Abdulrahman, Andrea Pirlo, dan Francesco Totti. Selebihnya kita mengenal penendang-penendang dengan gaya penalti eksepsional seperti Alan Shrearer, Eric Cantona, Maradona, hingga Neymar Junior.

Pada sebagian sisinya, sepak bola mirip dengan kehidupan manusia pada umumnya, yang menyajikan batas antara keberuntungan dan kemalangan, kegembiraan dan kesedihan, sukses dan tragedi.

Dan, adu penalti adalah wajah utuh yang pada satu segi terasa kusam, tidak adil; namun pada bagian lainnya menjadi solusi yang menjawab dengan cara bagaimana sebuah kebuntuan harus diakhiri.

Lahirnya pahlawan, munculnya pecundang dan trauma; bukankah itu konsekuensi dari sebuah jalan?

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah