Oleh Komper Wardopo
TETIBA Farel Prayoga (12), bocah dari tlatah Blambangan ini menyeruak. Suara emasnya mampu menggoyang peringatan HUT ke 77 RI di Istana Merdeka 17-08-2022 lalu.
Ritus perayaan Kemerdekaan di Istana Merdeka yang biasanya sakral dan khidmad, seolah luluh oleh lantunan “Ojo Dibangdingke” si Farel yang begitu lembut. Diselingi suara melengking khas senggakan lagu Jawa.
Dia luwes menyelingi suara merdunya dengan goyangan. Tak sadar Presiden Jokowi ikut beranjak. Bu Iriana menari. Pak Prabowo malah turun berjoget diikuti sejumlah menteri. Bahkan para jenderal kepala staf angkatan hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun ikut berjoget. Semua larut.
Apalagi busana Farel yang khas Jatim. Baju celana hitam dan ikat kepala. Lengkap sudah gaya bocah dan lagu yang ia bawakan itu sejatinya melambangkan komunitas wong cilik. Bukankah Farel dan lagunya mewakili gaya dan paradigma kepemimpinan Jokowi?
Sejak menjadi orang nomer satu di RI, Pak Jokowi tak henti menonjolkan keindonesiaan kita yang multietnis dan multikultural. Mulai dari gaya dan penampilannya, kebijakan hingga pembangunan infrastruktur di santero Nusantara. Pak Jokowi seolah tak lelah mengunjungi wilayah Tanah Air.
Gaya kepemimpinan Jokowi tentu untuk membangkitkan optimisme sebagai bangsa besar yang dibangun dari aneka suku bangsa dan bahasa. Maka ketika Jokowi berkuasa, juga ingin membawa Indonesia ini milik bersama.
Bahkan Istana Merdeka juga milik kita, milik rakyat. Jangan heran jika Farel Prayoga, bocah pinggiran Jatim itu dengan langgam campursari kesukaan wong cilik ia suguhkan di Istana. Malah Pak Jokowi sempat meminta tambahan lagu “Joko Tingkir” ke Farel. Namun pemandu acara menganulir karena bait lagu itu dianggap sensitiif. Bahkan kini judul dan lirik lagi itu direvisi oleh penciptanya.
Seperti saat berpidato pada Sidang DPR MPR memperingati HUT RI dan juga peringatan HUT RI, Jokowi selalu mengenakan busana Nusantara. Ini adalah kekayaan budaya kita.
Pak Jokowi tak memakai jas sebagai busana formil. Namun ia rela “merendahkan” diri mengenakan busana daerah guna menaikkan wibawa baju khas daerah. Tak lain tentu untuk memajukan budaya Nusantara, kekayaan kita. Bukanhkan Indonesia yang besar ini dibangun dari budaya daerah se Nusantara.
Kritik dan Perlawanan
Kembali ke penampilan Farel Prayoga. Meski mendapat beberapa kritikan karena ia membawakan lagu dewasa pada Peringatan Hari Kemerdekaan. Namun kita memaknai maksud Jokowi yang disuarakan oleh Farel itu ingin menunjukkan: Inilah budaya kita.
Seolah juga menjadi kritik sekaligus perlawanan atas selera sebagian anak muda dan generasi kekinian kepada budaya asing macam K Pop. Sementara kita memiliki seni budaya Nusantara yang luar biasa besar, unik dan menarik.
Tak pelak lagu “Ojo Dibandingke” yang bergenre khas Jawa dipopulerkan Denny Caknan dan Abah Lala kini makin digandrungi . Tak ubahnya lagu pop Jawa ala campursari yang lagi ngetop dan juga disukai anak muda “Mendung Tanpa Udan” yang dibawakan apik oleh Ndarboy Genk. Banyak penggemar langsung jatuh hati dan senang karena ada lagu bagus penerus kejayaan campursari kasmaran mendiang ala maestro Didi Kempot.
Dalam jagat ilmu sejarah kita guru besar Prof DR Sartono Kartodirjo dari UGM bukankan telah menggaungkan pendekatan penulisan sejarah Indonesia sentris dan multidimensi. Yakni pendekatan penulisan sejarah mengutamakan cara pandang dan sumber-sumber lokal asli Indonesia, bukan versi Kolonial, serta ditulis dari berbagai sudut pandang.
Bahkan Pak Sartono Kartodirjo dalam disertasinya di Universitas Amsterdam Belanda mengangkat topik Pemberontakan Petani di Banten 1888. Pendekatannya mendobrak sejarah konvensional dan berbau Kolonial. Sejarah, menurut Pak Sartono, bukan hanya kisah orang besar, para panglima perang, namun juga kisah para pejuang, pemuda dan petani atau wong cilik.
Jokowi adalah personifikasi sebagai pemimpin yang lahir dari bawah. Dia poluler sebagai pemimpin dari orang biasa, bukan trah, tak berdarah biru. Bahkan ia hanya anak tukang kayu alias pengusaha mebel di Gilingan, Solo.
Namun sesungguhnya ada korelasi dari pendekatan penulisan sejarah pak Sartono Kartodirdjo dengan apa yang di-legacy-kan oleh Jokowi dalam kepemimpinan saat ini. Bukankah untuk menjadi pemimpin bisa datang dari siapa saja.
Pemimpin bisa dari kalangan apa pun dan latar belakang apa pun. Asal terpilih melalui seleksi kepemimpinan secara demokratis, memiliki dedikasi kepada rakyat dan bangsa, cinta Tanah Air dan mampu memajukan negerinya. Apalagi sebentar lagi rakyat akan memasuki tahun politik 2024.
Penulis jurnalis Suarabaru.id, dosen IAINU Kebumen, alumni S1 dan S2 UNS.