Oleh: Amir Machmud NS
ANDAI Presiden Joko Widodo menjadi pemain bola, posisi yang paling pas adalah gelandang tengah. Dia bertugas mengalirkan bola untuk membangun serangan dengan umpan-umpan presisi yang cepat.
Saya memosisikan peran tersebut setelah menyaksikan permainan ringkas Jokowi dalam salah satu fragmen pembukaan PON XX.
Di Stadion Lukas Enembe, 2 Oktober kemarin, bersama empat pesepak bola Papua yang dipimpin mantan pemain Persipura Jayapura tahun 1990-an Jack Komboy, Presiden Jokowi unjuk teknik bolanya.
Dia memang tidak mempertontonkan kemampuan juggling, dribling, dan pamer skill seperti keempat pemain tersebut, namun dalam tik-tak segi lima, nyaris tak ada passing Jokowi yang “ngawur” lalu meleset.
Bola kirimannya presisi. Apabila saya bayangkan dalam permainan formasi skematik tentu merupakan umpan-umpan yang memanjakan para penyerang.
Show pendek “Jokowi’s soccer” di stadion nan megah itu memberi sejumlah catatan tentang sisi lain presiden asal Solo tersebut.
Malam itu tak terlintas sedikit pun di benak saya untuk mengamati Jokowi dari sisi kerumitan politik kenegaraan dengan segala kompleksitasnya, walaupun PON Papua ini memiliki banyak perspektif strategis dalam peta politik nasional bahkan internasional. Ada yang lebih menarik dari itu.
Membawa Larut Jokowi
Saya justru menikmati totalitas ekspresi Jokowi dalam bertiki-taka dengan bola. Secara alamiah, ketiga pemain remaja itu bersama Paman Jack bisa mengajak Presiden Jokowi larut dalam jiwa gembira sepak bola.
Ya, bukankah olahraga ini terkadang bisa membawa orang “masuk” ke dalam sedotan pesona magisnya?
Lionel Messi hebat antara lain karena dia dirasuki kegembiraan jiwa kanak-kanak. Itu kata Eric Cantona, pemain berjejuluk l’enfant terrible atau si anak nakal. Cantona sendiri, yang oleh Alex Ferguson dipanggil sebagai “Geniusku”, meluapkan intelektualitas sepak bolanya lewat jiwa kegembiraan seorang pemberontak.
Mengapa Jokowi begitu menikmati oper-operan bola dengan Komboy cs?
Ya, momen itu sungguh mampu membuat sejenak dia berpaling dari cekaman tugas-tugas rumit keseharian. Dia hadir di lapangan bukan sebagai “manusia politik”, meskipun bagi para analis politik “football show” Jokowi boleh jadi akan termaknai sebagai manuver tingkat dewa.
Dari sisi ini, saya melihat itulah pintarnya Presiden Jokowi memasuki sebuah momen politik dengan kemasan ungkapan kegembiraan bermain.
Eksotika Sepak Bola Papua
Tanah Papua, Anda semua tahu identik sebagai “Brazilnya Indonesia” dalam urusan sepak bola. Maka pilihan koreografer upacara pembukaan menampilkan potongan kultur Papua lewat show ringkas sepak bola — apalagi membawa turun Jokowi dari tribune kehormatan — merupakan sebuah skenario cerdas.
Dari provinsi ini lahir para legenda, antara lain Hengky Heipon, Johanes Auri, Simson Rumahpassal, Albert Pahelerang, Adolof Kabo, Yonas Sawor, Mettu Duaramuri, Rully Neere, Eduard Ivakdalam, Boaz Solossa, Titus Bonai, juga Yanto Basna.
Papua sangat kaya talenta yang mewarnai berbagai klub di seantero negeri dan tim nasional Merah-Putih.
Para pesepak bola Papua mengetengahkan keunikan gerakan gocek bola yang lebih mirip tarian Yosim Pancar, atau identik para pemain Brazil dengan liukan Samba dan Jogo Bonito-nya.
Mereka memiliki keindahan taste dan magi yang berbeda. Boaz Solossa dan kawan-kawan bergerak dengan imajinasi kultural ketimbang terikat dalam disiplin rigid organisasi permainan. Liukan pinggul, dan dinamika gerak kaki lebih terasa sebagai ekspresi yang menyatu dengan kealamiahan naluri.
Dan, pengakuan bahwa sepak bola merupakan “pembeda” di provinsi ini seakan-akan tertuntaskan melalui fragmen pendek kehadiran Jokowi.
Selain ekspresi tuntas budaya Papua lewat spiritualitas kehidupan, kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang dipanggungkan dalam upacara pembukaan; sepak bola juga diperlihatkan sebagai bagian dari spirit hidup anak-anak Papua.
Apakah Anda menyimak ketika Jokowi kembali menapak anak-anak tangga menuju tribune kehormatan, lalu napasnya terlihat terengah-engah sebelum meneguk air mineral?
Itulah ungkapan kelegaan! Gestur Presiden menggambarkan tuntas rasa dari “bapaknya masyarakat Papua” yang baru saja bergembira bermain dengan anak-anaknya.
Passing-passing Jokowi di Stadion Lukas Enembe pastilah akan dikenang menyejarah bukan hanya terkait PON XX. Momen itu, diam-diam merupakan pancaran kemenyatuan jiwa, raga, dan politik sepak bola yang luar biasa bermakna…
— Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis sepak bola, dan penulis buku —