SURAKARTA(SUARABARU.ID) – Solusi kepemimpinan pascapandemi covid – 19 menjadi topik menarik untuk dibahas selain permasalahan kesehatan, ekonomi dan mental. Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menawarkan konsep kepemimpinan dalam musik gamelan untuk menghadapi situasi dan kondisi masa depan.
“Banyak kejadian memberikan pelajaran kepada kita pada dua tahun terakhir ini. Telah terjadi pemutarbalikan realitas selama pandemi Covid-19. Apa yang dulu dianggap baik sekarang tidak,” kata Ketua Komisi III Dewan Profesor Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof Sahid Teguh Widodo, Senin (27/9). Dulu bersalaman itu baik, namun sekarang justru memiliki makna sebaliknya karena diimbau untuk tidak saling berinteraksi.
Artinya, masa depan ternyata tidak merupakan pengulangan dari masa lalu. Pasti ada sesuatu yang baru,” kata Prof Teguh.
Dia menambahkan, masalah kepemimpinan pascapandemi merupakan hal yang akan dibahas dalam Seminar Nasional tentang Kepemimpinan Astha Brata Menyongsong Generasi Emas 2045 serta akan digelar sehari kemudian.
Kepemimpinan Musik Gamelan
Orkestra musik tradional Jawa, lanjut Prof Sahid Teguh Widodo, gamelan mempunyai keunikan tinggi. Pada permainan gamelan, pemimpin karawitan berada di tengah para niyaga (penabuh) memimpin dengan menabuh kendang.
Yang bersangkutan selalu bisa mengontrol lainnya melalui suara gendang yang muncul. Artinya dia harus selalu hadir dalam arti sebenarnya tidak hanya pencitraan.
Pemimpin dan sifat kepemimpinan itu harus ada dalam masyarakat. Bukan dalam bentuk person, tapi sifat dan konsep kepemimpinannya wajib ngambah lemah (membumi).
Dengan akal sehat, logika, dan kontekstual, di dalam konsep orkestra gamelan ada istilah salah gumun. Konsep orkestra gamelan selalu dianggap tradisional. Padahal sebenarnya, konsep dunia saja sudah mengarah ke situ.
“Masyarakat Indonesia harus move on. Apa yang dianggap sudah tepat selama ini, bisa jadi tidak lagi pas untuk era di masa depan. Semua hal seolah dipangkas oleh pandemi Covid-19,” kata dia.
Prof Teguh menyatakan berani bertanggung jawab, bahwa ini bukti kegagalan skenario globalisasi. Modernisme tidak bisa menghalau ini. Karena model kepemimpinan antroposentris, pemimpin absolut, terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah ini.
“Maka pemimpin harus organismik. Harus ensambel seperti kepemimpinan gamelan. Walaupun mungkin ada yang salah dalam perjalanannya. Tapi itu hamemanis laku. Maka disebut salah gumun,” lanjut Prof Sahid Teguh Widodo menjabat Kepala Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi.
Menyinggung gelaran Seminar Nasional Astha Brata Menyongsong Generasi Emas 2045 Prof Sahid Teguh Widodo menambahkan, akan berlangsung secara daring/zoom dan diikuti sekitar 200 peserta baik mahasiswa maupun masyarakat umum.
Tampil sebagai narasumber yakni Wakil Gubernu Jawa Timur Dr. Emil Elestianto Dardak dengan materi “Kepemimpinan dalam perspektif milenial”, Dirjen Dukcapil RI Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan materi “Kepemimpinan nasional menyongsong Indonesia Emas 2045”.
Sedangkan pemateri Ketua Umum Masyarakat Telekomika Indonesia (MTI) Sarwoto Atmosutarno menyampaikan “Aktualisasi Kepemimpinan Astha Brata”, dan Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D. (Ketua Komisi III DP UNS) dengan materi “Mencari Pemimpin Masa Depan”.
Bagus Adji